IMUNISASI atau IMUN IS ASI (bagian 1)

sumber : http://najwafahrini.blogdetik.com/2011/12/26/imunisasi-atau-imun-is-asi-bagian-1/


Jagalah keluarga kecilmu... Bukankah semua sudah dicontohkan Rasulullah sejak abad ke-7????

Di Indonesia kita mengenal imunisasi sebagai program rutin pemerintah Indonesia yang dijalankan melalui posyandu dengan sasaran bayi dan balita. Pengertian dari imunisasi sendiri adalah pemindahan antibodi secara pasif sehingga akan didapatkan kekebalan secara pasif pula. Sedangkan vaksinasi adalah tindakan memasukkan kuman atau virus melalui vaksin untuk merangsang pembentukan imunitas secara aktif pada tubuh seseorang, sehingga akan didapatkan kekebalan aktif.
Sempat gemparnya Indonesia pada KLB difteri yang terjadi di Jawa Timur beberapa waktu lalu membuat pemerintah harus merogoh kocek untuk menyehatkan warganya dengan vaksin DPT booster. Seberapa efektifkah manfaat vaksin dan imunisasi yang kita tahu?
Dalam seminar ASI yang menghadirkan pakar laktasi Indonesia dr Henny Zainal dari HZ lactation center yang kemarin saya ikuti (25/12), banyak memaparkan fakta-fakta mengejutkan. Anda tahu apa yang kemudian terjadi setelah bayi divaksin?
Vaksin akan langsung berfek pada sel saraf otak bayi, dan mengaktivasi sel saraf mikroglia. Sel ini adalah sel sentral sistem imun yang memiliki sifat tenang dan tidur di dalam otak. Ketika zat toksin masuk ke dalam tubuh anak terutama sel saraf otak, maka sel ini akan sangat aktif bergerak seperti amoeba yang menyerang ke segala arah. Mikroglia sendiri pun akan mengeluarkan toksin untuk melawan toksin kimia vaksin dalam jumlah tinggi yang disebut sebegai eksositotoksin.
Dan setelah itu anak akan menunjukkan gejala inflammable brain yang ditandai dengan adanya deman, rewel, menangis  selama beberapa hari, muntah, kejang, bahkan stroke yang menyebabkan kematian pada bayi. Jika anak memiliki daya tahan tubuh yang kuat pada saat itu, keberadaan toksin akan meneyebabkan ADHD, autisme,dsb.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)  seperti ini sebetulnya banyak, tapi data tersebut tidak pernah dilaporkan, bahka cenderung ditutupi, sekali lagi demi target menjalankan program dari pemerintah.
Inilah kandungan vaksin sehingga menyebabkan gejala dan dampak yang telah saya sebutkan di atas. Alumunium garam, antibiotik, formaldehyde, thymerosal, MSG, 2-phenoxyethanol, mikroorganisme hidup/ mati / lemah.
Menjadi fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa ketika menyuntikkan vaksin, tenaga kesehatan TIDAK PERNAH membaca kemasan, kandungan, kontraindikasi, dan rusak tidaknya vaksin tersebut. Sungguh vaksin tidak memberikan jaminan 100% perlindungan terhadap seluruh penyakit. Sudah tahu begini, untuk apa masih diberikan? Siapa lagi kalau bukan keinginan pihak yang tertentu?
Tenaga medis menanggapi dengan entengnya bahwa  KIPI hanya terjadi pada sepersekian ribu dari bayi yang divaksinasi. Dimana hati nurani, jika satu anak dari seribu yang terkena KIPI adalah anak anda? Bisa membayangkan jika posisi anda adalah sebagai orang tua si korban?
dr Henny zainal pun pernah menangani pasien yang puteranya sakit karena imunisasi polio. Bayi yang semula sehat itu menjadi lumpuh. Naas, yang didapat hanyalah permintaan maaf dari tenaga medis yang menangani. Maaf? Apakah cukup untuk mengobati semua penderitaan yang akan dialami selama perjalanan hidup si anak? Mungkin juga tenaga medis tadi hanya membatin, “Untung bukan anak saya.”
Menjadi bukti bahwa sebetulnya para imuwan pun masih meragukan efektifitas penggunaan vaksin. Berdasarkan penelitian dari NZ Miller, dalam jurnal yang ditulisnya Vaccine Safety Manual. Dari NA Press, Sante Fe, New Mexico yang merujuk pada CDC, ditemukan di Ohio pada tahun 1993, pertusis terjadi pada 90% anak-anak yang divaksin, dan 10% nya tidak. Begitu pula denganchicken pox yang terjadi pada anak, 86% penderita adalah mereka yang sudah divaksin (pediatrics vol 113, 2005).
Demikian halnya yang terjadi di IOWA dari 100% penderita mumps, 92% diantaranya adalah anak yang divaksin. Dan yang paling baru adalah KLB difteri di Jawa timur baru-baru ini. 100% penderita sudah menjalani imunisasi lengkap. Sedangkan mereka yang sehat karena tidak divaksin tak terekspose oleh media. Saya sempat bertatap muka dengan orang-orang yang memilih untuk tidak memberikan vaksin pada anaknya, dan ternyata memang jauh lebih sehat.
Lalu bagaimana ilmu kedokteran menjawab fakta-fakta ini? Bahkan masih tetap mengagung-agungkan penggunaan vaksin sebagai satu-satunya cara paling ampuh dalam menghadapi berbagai penyakit pada anak-anak yang notabene imunitas tubuhnya belum terbentuk sempurna?
Kita harus tahu bahwa sistem imun anak baru mulai terbentuk setelah usia 3 bulan dan selesai terbentuk pada usia 12 bulan tapi belum aktif. Sistem tersebut barulah sempurna ketika usianya sudah menginjak 3-5 tahun. Lalu darimanakah sumber imunitas tubuhnya didapatkan? “…tiadalah yang Kami ciptakan sia-sia.” (QS. Ali Imran : 191). Tidak lain adalah ASI (bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran