Sahabat yang Terbuang part 5

Sepulang dari masjid, aku berkumpul dengan keluarga Okta, ada ibunda dan ketiga adiknya yang bernama Armand, Alfi, dan Rahma. Armand adalah satu-satunya lelaki dalam keluarga ini setelah sang ayah meninggal dalam sebuah kecelakaan kerja. Ketika sedang berkumpul, kami membicarakan tentang semua kenangan-kenangan bersama Okta. Hingga tak terasa, Alfi dan Rahma harus segera bersiap untuk berangkat ke sekolah. Sang ibunda pergi ke dapur menyiapkan makan pagi. Ketika aku menawarkan diri untuk membantu, beliau menolak dengan halus. Hingga aku tetap duduk di ruang keluarga ini, ditemani Armand. Kami berdua pun diam tak saling bicara. Aku bingung memulai pembicaraan darimana. Sungguh ku ingin bertanya tentang siapa si “dia” yang ditulis Okta dalam diary birunya. Tapi seakan mulut ini keluh tuk berbicara. Rasa bersalah menyelimuti diri. Tetapi beberapa saat kemudian, Armand memulai pembicaraan. Armand mengucapkan terima kasih karena aku dan Fika telah membantu Okta kembali ke fitrahnya sebagai seorang wanita. Sehingga keluarga ikhlas melepas kepergian Okta karena kepergiannya dalam keadaan khusnul khotimah, Insya Allah. Lama Armand bercerita, tetapi dia sama sekali tak menyebut tentang perasaan cinta kakaknya kepada si “dia”. Sehingga membuatku semakin penasaran dan bertanya-tanya.


Ibunda memanggil kami semua untuk makan pagi bersama dengan lauk pauk yang sederhana, tetapi dalam suasana kebersamaan yang menentramkan hati. Canda dan tawa mereka mengingatkanku kembali pada sahabat yang setahun terakhir banyak membantuku dan membuatku selalu tersenyum. Sungguh ku berterima kasih telah diberi kesempatan indah ini, kebersamaan dengan Okta dan keluarganya. Setelah makan pagi, Alfi dan Rahma harus segera berangkat ke sekolah. Ibunda pun juga harus berangkat mengajar di sebuah sekolah dasar di kampung kecil itu. Hanya tinggal aku dan Armand di rumah. Sehingga Armand memanggil temannya yang bernama Ridlo, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan. Karena ketika laki-laki dan perempuan hanya berdua saja, tentulah setan yang menjadi pihak ketiganya. Ridlo adalah teman kecil Armand yang juga sedang libur kuliah. Kami bertiga duduk di beranda rumah sambil menikmati indahnya pemandangan desa di pagi hari. Sejuknya udara yang tak pernah ku dapatkan di kota besar. Maha Besar Allah yang menciptakan alam ini dengan sempurna.

Ridlo memperkenalkan dirinya kepadaku. Kemudian kami bertiga berbincang tentang desa, perkuliahan, dan masalah politik negeri tercinta ini. Sejenak kami terdiam menghela nafas masing-masing. Pikiranku mendorongku untuk segera menanyakan tentang si “dia”. Akhirnya aku menanyakannya kepada Armand, “Armand, pernahkah Okta menceritakan tentang seorang lelaki dalam hidupnya yang sangat berarti?” Armand terdiam tak menjawab pertanyaanku. Ridlo pun ikut membisu. Akhirnya setelah ku paksa dengan mengatakan aku sudah mengetahui semuanya lewat diary biru Okta, dia pun menjelaskannya kepadaku. Memang enam bulan setelah perubahan Okta yang luar biasa, Okta sudah mulai jatuh hati pada seseorang. Tetapi semua disimpannya sendiri tanpa ada yang mengetahui. Tetapi entah kenapa ketika akhir semester kemarin, Okta mempunyai keberanian untuk meminta tolong Armand mengutarakan maksudnya kepada seseorang itu. Meski Armand berat hati melakukannya, Armand tetap berbicara dengan orang yang dimaksud Okta. Tetapi jawabannya malah membuat Okta kecewa. Okta memutuskan untuk pergi dari tanah kelahirannya ke pulau seberang karena malu. Keputusan itu diambilnya tergesa-gesa. Meski tanpa restu dari sang ibunda, Okta tetap berangkat dan ternyata Okta menjemput ajalnya dalam perjalanan itu. Aku pun mengejar pertanyaan siapa si “dia” sebenarnya. Armand dan Ridlo saling berpandangan seperti menyepakati sesuatu. Armand hanya bilang si “dia” adalah kakak angkatan mereka yang telah bekerja menjadi dosen di kampus kami. Hanya itu yang aku ketahui tentang si “dia”.

Siang harinya, aku bersiap untuk berkemas dan kembali ke kota karena dua hari lagi telah memasuki perkuliahan semester lima. Aku pun berpamitan dengan keluarga Okta. Aku berangkat bersama dengan Armand dan Ridlo. Dalam perjalanan, kembali aku mendapat pesan singkat dari kakak yang misterius yang mengatakan bahwa, “Love is just a word until you find someone to give it definition.” Berulang-ulang ku membaca pesan ini. Dan akhirnya aku mengerti kenapa selama ini aku tak dapat memaknai kata cinta hingga umurku yang menginjak 20 tahun ini. Selama perjalanan yang ku lakukan hanya membaca buku. Perjalanan panjang membuatku lelah dan akhirnya terlelap dalam buaian mimpi. Tak terasa sampailah aku di terminal kota kebanggaanku. Aku pun meneruskan dengan naik angkutan umum hingga sampai di depan kos. Di terminal, aku berpisah dengan Armand dan Ridlo, karena arah kami berbeda. Sesampai di kos, aku disambut Fika dengan senyum hangatnya. Fika, inilah satu-satunya sahabatku saat ini. Aku pun kembali berjanji dalam hati untuk selalu menjaganya tanpa ada rahasia di antara kami. Tetapi, aku tak berani berbicara tentang peristiwa di diary biru Okta. Cukuplah aku yang mengetahui untuk ku jadikan pelajaran agar dapat menjadi sahabat terbaik untuk sahabat-sahabatku.

Semester lima hingga tujuh kami lalui tanpa hambatan. Semua tugas dapat kami selesaikan dengan saling membantu. Tidak ada peristiwa istimewa selama tiga semester akhir. Apalagi saat semester tujuh, hampir tiap hari kami hanya bertemu pagi dan malam hari. Itupun dengan kesibukan kami masing-masing menyusun proposal untuk melanjutkan skripsi di semester delapan ini. Semester delapan, ku rasa semester yang paling berat delama duduk dalam bangku perkuliahan. Rasanya seperti mempertaruhkan perkuliahan untuk memenuhi target lulus tepat waktu atau menambah satu semester yang berarti akan menambah pengeluaran dan lain sebagainya. Semangat kami turun naik menghadapi semester delapan ini. Penyusunan skripsi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak jarang kami menangis ketika mengalami kegagalan dalam memperoleh data pendukung skripsi. Tangis dan tawa selalu berseling dalam menghadapi semester ini. Hingga pada suatu hari, Fika menangis seharian karena data yang diambilnya salah. Bukan hanya itu, karena kesalahan itu Fika mendapat teguran yang cukup keras dari dosen pembimbingnya. Aku hanya bisa memeluknya untuk membakar semangatnya kembali. Tapi ternyata usahaku gagal. Fika tetap menangis dan menutup diri. Kemudian dia mengambil handphone dan sepertinya sedang menulis pesan singkat kepada seseorang. Setelah ada balasan, akhirnya tersungging sebuah senyuman indah di bibir mungilnya. Aku pun bingung, pesan apa yang dibacanya. Siapa pengirimnya. Kok sepertinya dengan mudah membuat sahabatku ini tersenyum. Tanpa ku bertanya, dia pun bercerita bahwa itu kata-kata semangat dari Hafiz, seseorang yang dicintainya. Sebegitu dahsyatkah pesan itu. Aku pun penasaran ingin membacanya. Ternyata hanya sebuah kalimat yang mengatakan bahwa Fika harus maju terus pantang mundur, karena Allah melihat proses menuju keberhasilan, bukan hanya terpaku pada hasil. Aku pun semakin bingung. Kalimatnya cukup sederhana. Pemilihan katanya pun tak terlalu puitis. Tapi efeknya sungguh luar biasa. Sekali lagi, semakin aku merasa bodoh ketika berbicara tentang cinta.

Semester lima hingga tujuh kami lalui tanpa hambatan. Semua tugas dapat kami selesaikan dengan saling membantu. Tidak ada peristiwa istimewa selama tiga semester akhir. Apalagi saat semester tujuh, hampir tiap hari kami hanya bertemu pagi dan malam hari. Itupun dengan kesibukan kami masing-masing menyusun proposal untuk melanjutkan skripsi di semester delapan ini. Semester delapan, ku rasa semester yang paling berat delama duduk dalam bangku perkuliahan. Rasanya seperti mempertaruhkan perkuliahan untuk memenuhi target lulus tepat waktu atau menambah satu semester yang berarti akan menambah pengeluaran dan lain sebagainya. Semangat kami turun naik menghadapi semester delapan ini. Penyusunan skripsi itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tak jarang kami menangis ketika mengalami kegagalan dalam memperoleh data pendukung skripsi. Tangis dan tawa selalu berseling dalam menghadapi semester ini. Hingga pada suatu hari, Fika menangis seharian karena data yang diambilnya salah. Bukan hanya itu, karena kesalahan itu Fika mendapat teguran yang cukup keras dari dosen pembimbingnya. Aku hanya bisa memeluknya untuk membakar semangatnya kembali. Tapi ternyata usahaku gagal. Fika tetap menangis dan menutup diri. Kemudian dia mengambil handphone dan sepertinya sedang menulis pesan singkat kepada seseorang. Setelah ada balasan, akhirnya tersungging sebuah senyuman indah di bibir mungilnya. Aku pun bingung, pesan apa yang dibacanya. Siapa pengirimnya. Kok sepertinya dengan mudah membuat sahabatku ini tersenyum. Tanpa ku bertanya, dia pun bercerita bahwa itu kata-kata semangat dari Hafiz, seseorang yang dicintainya. Sebegitu dahsyatkah pesan itu. Aku pun penasaran ingin membacanya. Ternyata hanya sebuah kalimat yang mengatakan bahwa Fika harus maju terus pantang mundur, karena Allah melihat proses menuju keberhasilan, bukan hanya terpaku pada hasil. Aku pun semakin bingung. Kalimatnya cukup sederhana. Pemilihan katanya pun tak terlalu puitis. Tapi efeknya sungguh luar biasa. Sekali lagi, semakin aku merasa bodoh ketika berbicara tentang cinta.

Hari-hari selanjutnya merupakan pertempuran yang sesungguhnya. Kami disibukkan dengan penyusunan naskah skripsi, revisi, dan kelengkapan administrasi lainnya sebagai syarat mengikuti sidang skripsi. Peluh yang menetes tak menyulutkan niatku tuk segera menyelesaikan semuanya. Tak mengenal lelah ku berjalan ke banyak tempat tuk melengkapi semua. Sampai akhirnya hari yang dinanti tiba. Sidang skripsi selama dua jam yang dirasa bagaikan dua tahun. Sebelum sidang, tak lupa malamnya aku menjalankan kebiasaan sholat tahajud yang sudah mulai ku lakukan rutin sejak beberapa tahun terakhir. Alhamdulillah, semua terasa ringan. Apalagi setelah sholat subuh dan membaca surat cinta dari Allah, ayah dan bunda meneleponku. Mendengar suara khas mereka, semakin membuatku kuat. Terimakasih ya Allah atas semua nikmat yang kau beri ini. Tak terasa, sidang skripsiku segera dimulai. Aku mulai mempresentasikan hasil penelitianku. Ketika giliran dosen penguji bertanya, ada beberapa pertanyaan yang aku tak tahu jawabannya. Tetapi karena semua sudah ku pasrahkan hanya pada Allah, semua berjalan lancar. Dan ketika dosen pembimbing menyatakan aku telah lulus, refleks diri ini melakukan sujud syukur. Terima kasih ya Rabb. Sungguh kekuasaanMu melebihi segalanya. JanjiMu pun tak pernah tak terwujud. Perlahan tetesan bening mengalir mengiringi rasa syukurku akan semua kenikmatan ini. Alhamdulillah wa syukurillah. 

dikit lagi
insya Allah sampai part8
padahal di fb sampe part10
hehehe
^_^

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran