Rasaku Berbuah Cinta di Caldera

“Mama, maafin semua salahnya Via ya ma. Via belum bisa menjadi seperti yang mama inginkan. Namun Via akan tetap berusaha untuk menjadi lebih baik ma.”

“Iya sayang, mama juga minta maaf ya. Mama terlalu sibuk dengan kerjaan mama sehingga kamu tidak mendapatkan perhatian khusus dari mama.”


Aku membalas perkataan mama dengan senyuman terindah. Kemudian aku bergeser untuk meminta maaf kepada papa,


“Papa, maafin Via yang bisanya hanya ngebuat papa repot ya. Via akan berusaha menjadi anak solehah seperti yang papa inginkan. Maafin Via ya pa.”


“Sama-sama nak, papa juga mohon maaf ya kalo papa pernah membentak kamu. Papa sayang sama kamu sebenernya sayang. Kamu sudah menjadi anak yang solehah sayang, Ramadhan tahun ini adalah Ramadhan terbaik buat kamu nak. Kamu sudah memakai jilbab.”


“Iya pa, semoga jilbab ini gak akan pernah aku lepas lagi ya pa.”


“Amin.”


Mama dan papa bersamaan mengamini ucapanku. Sungguh aku tak mampu berkata apapun. Ramadhan tahun ini memang Ramadhan terbaik sepanjang hidupku. Ramadhan tahun ini adalah titik awal perubahan alur kehidupanku dari jalan kesesatan menuju jalan kebenaran yang penuh cahaya. Semua berawal ketika mama dipindahtugaskan dari Jakarta ke kota kecil nan nyaman ini. Lingkungan yang aku temukan disini sungguh sangat berbeda dengan di Jakarta. Tidak ada lagi pergaulan bebas, seks bebas, dugem, dan semua kehidupan kota besar. Di kota kecil ini, akku kembali menemukan kehidupanku yang telah lama tak tersentuh. Di kota kecil ini kembali aku menemukan jalan kebenaran yang lama aku tinggalkan. Di kota ini pula, papa dan mamaku kembali bersatu.


Aku masih ingat dulu saat aku masih di Jakarta. Hampir tiap malam minggu, aku diajak pacarku untuk melakukan pesta narkoba setelah usai dugem. Namun Allah masih sangat menjagaku dari barang-barang haram itu. Allah senantiasa menjagaku untuk menjauhi tempat-tempat maksiat itu. Dulu pernah aku sampai difitnah dengan adanya narkoba dalam tasku. Hingga membuat mama dan papaku bertengkar hebat. Papa menuduh mama terlalu sibuk dengan kegiatan sosialnya sehingga tidak pernah memperhatikan kau. Sedangkan mama menuduh papa terlalu sibuk dengan urusan bisnisnya tanpa mementingkan keluarga. Hingga puncaknya mereka akan bercerai. Namun aku mengancam akan bunuh diri kalau papa dan mama bercerai. Sehingga akhirnya setelah aku bebas dari panti rehabilitasi, papa dan mama sepakat agar kami sekeluarga pindah ke kota lain. Kota yang papa dan mama pilih adalah kota kecil di pesisir utara Pulau Jawa. Kota pesisir yang terletak di sebelah Timur dari provinsi Jawa Timur yang merupakan dataran rendah di tepi selat Madura. Daerah yang sangat dikenal dengan keindahan Gunung Bromo dengan lautan pasir yang disebut caldera, yaitu kota Probolinggo.


Di kota ini, aku menemukan sahabat-sahabat yang luar biasa. Walau termasuk kota kecil, namun banyak dari warga asli Probolinggo yang menimba ilmu di kota-kota besar. Banyak diantara sahabatku disini yang kuliah di UGM, UNAIR, dan ITS. Mereka kadang pulang saat liburan untuk mengamalkan ilmu yang mereka miliki pada adik-adik mereka. Sama halnya denganku. Saat aku baru pertama kali pindah ke sini, aku duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku banyak mengenal para alumni di sekolah negeri ini menimba ilmu di kota-kota bedar. Namun para alumni tersebut tidak pernah melupakan kampung halamannya. Ketika liburan semester atau akhir pekan yang panjang, mereka selalu menyempatkan diri untuk pulang. Rasa cinta pada kampung halaman memang selayaknya tidak pernah dilupakan.


Sama halnya seperti Ramadhan tahun ini, bertepatan dengan liburan semester bagi anak-anak kuliahan. Sehingga kakak-kakak alumni pulang ke kampung halamannya, sehingga Ramadhan pertamaku di Probolinggo sangat berkesan. Kakak-kakak alumni membuat sebuah program yaitu program pesantren kilat selama sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Aku semangat sekali mengikuti program itu, walaupun sungguh sebenarnya aku malu ketika aku berkumpul dengan orang-orang solih dan solihah seperti mereka. Aku melihat diriku terlalu hina untuk berkumpul dengan orang-orang mulia itu. Namun niat dalam diriku untuk berubah menjadi lebih baik, mampu mengalahkan segala rasa engganku. Sungguh, aku hanya ingin menjadi lebih baik karena Allah demi mama dan papaku. Aku sudah bertekad aku tak akan pernah lagi membuat masalah yang akan merepotkan mama dan papa. Aku tak akan pernah lagi menjadi anak yang bandel dan sulit diberi nasehat. Aku akan menjadi anak yang solihah untuk keselamatanku, mama, dan papa di akhirat kelak.


Tekadku yang bulat ini tidak begitu saja hadir dalam hatiku. Semua aku pupuk dari awal kedatanganku ke sini. Aku memupuk tekad itu juga tidak sendiri, ada mama dan papa yang selalu menguatkan tekadku. Ada lagi satu orang yang selalu memberiku nasehat dalam tiap langkah hidupku. Orang itu adalah kak Evan, seseorang yang aku kenal saat pertama kali aku pindah ke sini. Dia yang membantuku menemukan kumpulan orang-orang yang melakukan kegiatan positif. Kak Evan menimba ilmu di ibukota Jawa Timur, di salah satu universitas ternama disana, namun kak Evan senantiasa pulang sebulan sekali untuk menengok orang tuanya di sini. Rumahnya hanya berjarak beberapa rumah dari rumahku. Aku juga dekat dengan orang tuanya. Satu hal yang membuat kami dekat adalah kami sama-sama anak tunggal sehingga kami mempunyai rasa yang sama. Rasa ingin menganggap orang lain seperti saudara. Aku menganggap kak Evan adalah kakak yang senantiasa menjaga adiknya, walau dari kejauhan.


Aku masih sangat ingat ketika menjelang Ramadhan ada satu pesan singkat yang masuk ke hapeku,


“Persiapkan bekal adik di Ramadhan nanti. Jadikan Ramadhan esok adalah Ramadhan terbaik dalam hidup adik.”


Pesan singkat yang mampu menggetarkan hatiku. Aku dan beberapa teman memang sangat getol menyiapkan kegiatan semarak Ramadhan untuk sekolah kami, namun kakak mengingatkan aku. Apa bekal yang aku siapkan untuk diriku sendiri? Sebuah pesan singkat bak menampar pipiku dengan sangat dahsyat. Ya Rabb, mohon maaf atas segala salahku selama ini atas kelalaianku menyiapkan diriku sendiri menyambut bulan yang menjadi lautan ampunanMu. Terimakasih kak, sudah mengingatkan aku.


Aku menganggap kak Evan seperti sahabat dan kakakku sendiri. Sahabat yang bisa diajak sharing tentang persoalan hidup sehari-hari, mengingatkan dalam kebaikan, dan seseorang yang selalu ada saat sedih maupun senang. Sebagai seorang kakak yang selalu menjaga adiknya dan mencoba membuat adiknya merasa aman. Pernah suatu ketika ada seorang kawan yang menggodaku,


“Via, kamu dah pacaran ya sama maz Evan?”


Betapa aku kaget ketika mendengar pertanyaan polos dari kawanku itu. Memang sudah banyak kawanku yang melihat kedekatanku dengan kak Evan, namun sungguh aku hanya menganggap kak Evan itu seperti kakak dan sahabatku sendiri, tidak lebih. Namun mereka masih saja tetap menggodaku,


“Vi, tahu lagunya Zigaz gak? Judulnya Sahabat Jadi Cinta. Heu heu....”


Aku hanya bisa tersenyum mendengar gurauan mereka. Memang tak ada yang tak mungkin. Semungkin persahabatan menjadi cinta. Namun sungguh aku hanya menganggap kak Evan sebagai kakak dan sahabatku, tidak kurang dan tidak lebih. Aku memang menyayangi kak Evan, namun sayang karena Allah atas nama ukhuwah Islamiyah. Aku sangat meyakini satu pesan singkat yang pernah kak Evan kirimkan dahulu,


“Jika di dalam persahabatan terdapat cinta, maka tidak akan tersisa ruang untuk persahabatan itu sendiri.”


Sedangkan sekarang aku masih sangat nyaman bersahabat dengan kak Evan. Tidak ada rasa cinta yang seperti kebanyakan orang bilang. Bukan rasa cinta perempuan terhadap seorang laki-laki, namun rasa cinta seorang adik terhadap kakaknya.


Tidak terasa pesantren kilat akan segera dimulai. Aku memilih tempat duduk yang paling depan agar rasa kantuk tidak menyerangku dan ilmu yang aku serap dari para pembicara dapat maksimal. Hari pertama aku mendapat materi tentang bagaimana Islam memuliakan wanita. Sungguh aku baru mengerti kenapa ada seseorang yang dengan ikhlas berjilbab walaupun keringat mengucur deras, rambutnya yang indah ditutup, dan masih banyak lagi yang lainnya. Sungguh aku baru mengerti ternyata jilbab memang merupakan identitas seorang muslimah. Jilbab yang membedakan seorang muslimah dengan wanita lain. Jilbab adalah simbol kemuliaan seorang muslimah. Dengan jilbab, banyak tangan jahil yang enggan mengganggu. Aku baru mengetahui itu semua. Semoga tekadku memakai jilbab akan segera terwujud. Hari kedua dan seterusnya, banyak sekali pelajaran yang aku dapatkan. Sungguh, aku baru mengetahui bahwa Islam, agama yang aku anut sejak lahir ternyata sangat indah. Aku baru mengetahui itu disaat umurku sudah mencapai 17 tahun. Ya Allah, maafkan hamba. Kemana saja aku selama ini. Selama 17 tahun tak pernah sekalipun aku mempelajari agamaku dengan teliti. Maaf ya Rabb.


Hingga tak terasa malam ini adalah malam terakhir di Ramadhan terindah yang pernah aku alami dalam perjalanan hidupku. Aku menangis di sujud panjangku. Aku tak rela Ramadhan meninggalkanku. Aku masih ingin merasakan Ramadhan ya Rabb. Aku masih ingin berada di bulan tersuci dengan lautan ampunan yang Engkau berikan. Namun aku sadar, sekeras apapun aku menangis, sekuat apapun aku berdoa, Ramadhan tetap akan meninggalkanku. Ramadhan akan tetap pergi menjauh. Hingga aku hanya bisa berdoa, semoga Allah masih memberikan kesempatan kepadaku untuk bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan. Ya Rabb, mungkin hanya itu satu permintaanku di malam terakhirku di bulan Ramadhan ini. Tanpa mampu ku bendung air mata yang mengalir deras membasahi mukenaku.


Esok harinya saat sahur untuk puasa terakhir di bulan Ramadhan tahun ini, aku menguatkan tekad dalam hatiku dan aku mengatakannya pada mama dan papa,


“Pa, ma, Via mau ngomong sesuatu.”


Papa dan mama mendengarkan dengan seksama. Mama yang sebelumnya sedang sibuk menyiapkan sahur, langsung duduk terdiam di sampingku.


“Via sudah bertekad. Mulai pagi ini, Via akan mengenakan jilbab ma. Untuk selamanya. Via mohon bantuan mama dan papa, tegur Via kalau sekali saja Via melepas jilbab ini.”


Mama langsung menangis dan memelukku erat. Aku melihat papa dengan wajah berserinya juga mengucap syukur kepada Allah. Aku tahu, mama dan papa sudah lama sekali menginginkan aku memakai jilbab, namun aku selalu saja membantah. Dulu aku membantah karena memang aku belum mengerti tentang urgensi jilbab. Tapi setelah aku mengikuti program pesantren kilat kemarin, aku baru mengetahui tentang pentingnya berjilbab bagi seorang muslimah.


Tak terasa ternyata Ramadhan terindahkku telah berakhir. Hari ini aku merayakan hari kemenangan dengan mama dan papa. Setelah aku melakukan sungkem ke mama dan papa, aku berkeliling kampung dengan kawan-kawanku yang lain. Kami semua saling bermaafan. Rasa luar biasa yang menjalar di sekujur tubuhku, seakan-akan aku adalah seorang bayi yang baru dilahirkan. Rasa yang tak pernah aku rasakan di Idul Fitri sebelum-sebelumnya. Ya Rabb, aku sungguh sangat berteima kasih atas Ramadhan dan Idul Fitri terindah tahun ini. Aku baru merasakan semua keindahan itu di kota pesisir ini. Kota kecil yang menyimpan berjuta makna buatku. Terimakasih ya Allah, sudah mengizinkan aku tinggal di kota kecil yang luar biasa ini.


Malam harinya, kami semua berkumpul di masjid untuk bersilaturrahim sesama peserta dan panitia pesantren kilat dulu. Semua datang dengan wajah berseri. Seakan kita semua adalah bayi yang baru lahir dari perut ibunda kami masing-masing. Ketika kami semua sudah berkumpul, tiba-tiba kak Evan berdehem dan membuka pertemuan ini dengan bacaan basmalah. Acara silaturahim berjalan dengan lancar. Kami semua sudah saling memaafkan. Kami juga sudah resmi membubarkan kepanitiaan pesantren kilat kemarin. Kemudian di akhir acara, ada seseorang yang memberi usul kami semua melakukan refreshing bersama ke Gunung Bromo, dengan tujuan untuk mentadaburi alam. Ada beberapa kawan yang tidak setuju karena sudah terlalu sering ke sana. Kemudian ada lagi yang menyahut bahwa kita harus mencintai tempat pariwisata di lingkungan terdekat kita sebelum jauh melangkah. Terus ada lagi yang berpendapat. Aku hanya bisa duduk terdiam karena sungguh aku menyimpan mimpi untuk pergi ke sana, karena selama aku pindah ke kota pesisir ini, belum sekalipun aku sempat pergi ke sana. Kemudian tiba-tiba kak Evan menengahi debat itu dan berbicara,


“Akhi wal ukhti, kenapa harus berdebat untuk menentukan itu semua? Ana setuju kalau kita rihlah. Masalah tempat, saya setuju kalau di Gunung Bromo. Kenapa? Karena kita bisa lebih mentadaburi alam ciptaan Allah. Kita akan melakukan sholat tahajud berjamaah di caldera dengan dinginnya Bromo yang menusuk tulang dan diatas hamparan pasir yang sebelumnya tidak pernah kita lakukan. Kita akan bertilawah di atas kawah Bromo dengan melodi terindah agar asap kawah pun ikut berdzikir mengagungkan kuasaNya. Hal yang belum pernah kita lakukan walau berulang kali ke sana. Bagaimana? Sepakat?”


Semua dengan serempak menyetujui apa yang diucapkan kak Evan. Perlahan aku semakin kagum dengan kakakku ini. Dia dapat menengahi perdebatan yang terjadi dengan sangat bijaksana. Namun aku segera menepis rasa itu. Aku menyangkal bahwa rasa persahabatan itu akan berubah jadi cinta. Tidak. Aku tidak bisa. Kak Evan akan selamanya menjadi kakakku dan juga sahabatku, tidak lebih. Aku tidak boleh mengubah rasa ini menjadi cinta, karena aku mengetahui ada orang lain yang sangat mencintai kak Evan. Dia lebih dulu mengenal kak Evan sebelum aku dan aku juga merasa dia lebih pantas mendampingi kak Evan dibandingkan denganku. Wajahnya sangat cantik, kegiatan dakwahnya sudah banyak, ilmu agamanya luar biasa, sosok perempuan seperti itulah yang pantas mendapatkan kak Evan, bukan seperti aku. Hani lebih pantas mendampingi kak Evan dibandingkan denganku. Hanya sebagai sahabat dan kakak, itu pula yang ditawarkan kak Evan kepadaku.


Sore ini kami semua berkumpul di halaman masjid ini. Nanti ba’da maghrib kami akan berangkat bersama ke Gunung Bromo menggunakan mobil yang sudah kami pesan beberapa hari sebelumnya. Rencananya, kami nanti akan berjalan di lautan pasir terlebih dahulu kemudian ke penanjakan. Baru esok harinya kami melakukan perjalanan ke kawah Bromo. Adzan maghrib berkumandang, kami semua melakukan sholat berjamaah terlebih dahulu. Kami berencana berangkat ba’da Isya’ agar tidak ada tanggungan di jalan nanti untuk melakukan sholat Isya’. Menunggu adza Isya’, kami duduk melingkar membaca surat cinta dari Allah dengan melodi terindah, sebagai persiapan pula kegiatan yang sama yang akan kami lakukan di kawah Bromo esok.


Setelah sholat Isya’ berjamaah, kami menaiki mobil dan kami berdoa bersama sebelum berangkat. Tak terasa satu jam kemudian, kami sudah sampai di gerbang Gunung Bromo. Kami semua turun dan berjalan di tengah keheningan malam. Saat kami menginjak lautan pasir atau yang biasa disebut caldera, dengan tidak sengaja aku menyeletuk,


“Wah, seperti syuting film ayat-ayat cinta ya.”


Sambil tak sadar aku membentangkan tanganku dan menghirup udara malam itu. Celetukanku dibalas dengan nyaringnya oleh salah satu kawan yang suka sekali menggodaku dengan kak Evan,


“Iya Vi, kamu Aisyahnya dan maz Evan Fahrinya. Ciee....”


Semua pun ikut berdehem. Aku langung berdiri terdiam tanpa bisa berkata apapun. Aku hanya melihat bawah. Aku melirik kak Evan, dia hanya tersenyum seperti tak menghiraukan omongan kawan-kawan. Lalu Hani berdehem keras dan langsung memimpin kami untuk meneruskan perjalanan. Sungguh aku merasa tidak enak dengan Hani. Aku hanya bisa terdiam selama perjalanan. Dalam perjalanan aku bersebelahan dengan Farah, sahabatku. Aku bilang padanya kalau aku merasa sungkan dengan kak Hani, tapi Farah bilang,


“Udahlah Vi, gak usah mikirin Hani. Kalau kak Evan lebih milih kamu, why not?”


Aku hanya bisa mendengus kesal dengan jawaban Farah. Tak terasa kami sudah sampai di Gunung Batok. Banyak pengendara motor yang menyapa kami. Kami hanya menjawab dengan senyuman. Gunung Batok adalah tempat peristirahatan pertama kami. Aku langsung duduk dan menyelonjorkan kakiku. Aku tak menyangka hawanya disini sangat dingin. Aku tidak membawa jaket lagi, aku merasa kedinginan sangat. Walau capek, sungguh aku merasa aku lebih baik dalam keadaan berjalan, karena dengan berjalan aku menggerakkan tubuhku sehingga dingin yang aku rasa sedikit berkurang.


Alhamdulillah kami dapat melanjutkan perjalanan. Kemudian tiba-tiba kami mendengar suara orang terjatuh, ternyata Hani terjatuh tersandung gundukan rumput yang besar. Kawan-kawan banyak yang tertawa melihatnya, namun aku langsung membantu Hani untuk berdiri. Namun Hani menolak uluran tanganku. Dia malah meminta kak Evan untuk membantunya, kak Evan menolak sambil berkata,


“Maaf Han, kita bukan muhrim. Dik Via sudah menolongmu bukan? Kenapa tak kau sambut tangannya?”


Hani langsung kesal dan berdiri sendiri, lalu dia langsung berjalan ke depan. Aku serba salah lagi. Aku menoleh kak Evan dan dia memberikan senyum terindahnya. Kami melanjutkan perjalanan kembali. Sudah jauh jarak yang kami tempuh, namun belum sampai juga ke penanjakan, aku sudah merasa tidak kuat lagi. Lalu kami sudah sampai di dasar penanjakan, tinggal naiknya saja dengan jalan yang berkelok tajam. Sampai di kelokan yang pertama, aku merasa sudah sangat berat kakiku melangkah. Aku merasa langkahku semakin berat. Kemudian Hani menyuruh teman-teman untuk melanjutkan perjalanan. Aku semakin merasa berat langkahku untuk berjalan. Aku benar-benar tidak kuat, refleks aku berteriak,


“Sudah cukup. Aku gak kuat lagi.”


Lalu aku menangis sesenggukan. Aku kedinginan. Langkahku terasa berat. Aku menangis tanpa bisa ku tahan lagi. Farah memelukku sambil menghangatkan aku. Kemudian kak Evan mendekatiku, dia melepas jaketnya dan diberikan pada Farah. Kak Evan meminta agar Farah memakaikan jaket itu kepadaku. Aku bingung. Gigiku bergemeletuk merasakan dingin yang teramat ini. Kak Evan berteriak menyuruh Hani dan beberapa kawan yang sudah naik lebih dulu untuk kembali saja karena aku tidak kuat melanjutkan perjalanan, namun mereka tetap ingin melanjutkan perjalanan. Kemudian aku berkata,


“Sudah kalian lanjutin jalan aza. Aku tunggu disini. Aku gak kuat.”


Kak Evan memutuskan kami bertiga tidak melanjutkan perjalanan ke penanjakan. Kami turun kembali ke bawah. Kak Evan berusaha menyalakan api. Farah terus merangkulku. Aku menangis di pelukan Farah. Aku tak menyangka bahwa Farah adalah sahabat terbaikku. Aku meminta maaf pada kak Evan dan Farah, karena aku yang membuat rencana indah yang dibuat menjadi berantakan. Kak Evan menjawab,


“Dik, kita hanya manusia yang bisa merencanakan sesuatu, apakah rencana itu terwujud atau tidak, itu kuasa Allah sepenuhnya. Sudah jangan khawatir. Kita masih bisa sholat tahajud di caldera kan? Walau tak bisa melihat matahari terbit dari puncak penanjakan.”


Kemudian kami sholat tahajud berjamaah. Sholat paling beda yang pernah aku rasakan. Sholat di tengah lautan pasir dengan hawa dingin yang menusuk tajam ke tulang. Baru kali ini aku merasakan nyamannya sholat tahajud di atas lautan pasir. Setelah sujud panjang, kami tenggelam dalam lautan doa yang kami panjatkan dari hati kami masing-masing. Tak lama kemudian, sudah memasuki waktu subuh. Kami pun kembali menegakkan sholat berjamaah, sebelum kami mengangkat tangan mengucap takbir, kawan-kawan kami yang lain datang berbondong-bondong. Fuad berkata,


“Kita dah gak kuat Van jalan ke puncak. Dingin banget. Jadi kami putusin turun lagi. Tadi nyesel banget kenapa gak ikut saran kamu supaya kita turun aza. Sekarang waktu sholat tahajud sudah habis. Huft.”


Kak Evan melirikku, aku tersenyum. Aku tahu maksudnya, karena aku memutuskan tidak melanjutkan perjalanan, Allah masih memberi kami kesempatan untuk melakukan sholat malam. Kemudian kak Evan langsung menyuruh teman-teman yang baru datang untuk melakukan tayamum dan segera melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah dzikir pagi ini, kami semua bersiap mengabadikan munculnya matahari terbit. Sesuatu yang aku nantikan dari kemarin.


“Subhanallah...”


Kami semua mengucap kekaguman yang luar biasa. Matahari terindah yang pernah aku lihat, sungguh luar biasa. Kami tak henti-hentinya berdecak kagum membicarakan matahari terbit itu. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah atas semua kesempatan yang Engkau berikan kepadaku, dalam diamku aku berbisik.


Kami melanjutkan perjalanan kembali ke kawah Bromo dengan riang. Walau sungguh capek, namun aku sudah mulai beradaptasi dengan hawa dingin yang menusuk. Sinar matahari sedikit menghangatkan tubuhku. Dalam perjalanan kami juga mengabadikan semua kebesaran Allah ini dengan kamera yang kami bawa masing-masing. Canda dan tawa menghiasi perjalanan. Sampai di kawah Bromo, kami membentuk lingkaran dan bertilawah bersama. Kami membacakan surat cinta dari Allah dengan melodi terindah di atas kawah Bromo ini. Rasa sejuk kembali mengalir di sekujur tubuhku. Selesai kami membaca surat cinta Allah itu, kami langsung beranjak pergi meninggalkan Bromo. Sungguh pengalaman indah yang luar biasa bagiku. Perjalanan pulang ini seperti lebih meyakinkan bahwa aku sudah menjadi orangyang benar-benar baru bagaikan bayi yang baru terlahir dari perut ibunda. Terima kasih ya Allah.


Dalam perjalanan pulang ke rumah, tak sadar aku senyum-senyum sendiri. Farah yang melihatku berdehem keras dan menyenggol tubuhku,


“Aih aih, kayaknya ada yang baru jatuh cinta neh. Heu heu.”


“Apaan sih Far?”


“Cintaku bersemi di caldera euy.”


Aku hanya bisa tersenyum. Aku mencoba mengingat semua peristiwa di Bromo. Di saat semua ingin meneruskan perjalanan ke penanjakan, kak Evan dengan ikhlas menemaniku dan Farah di kaki penanjakan, dan masih banyak lagi. Satu pertanyaan yang kembali muncul di alam pikirku, apakah aku jatuh cinta?


Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan tubuhku. Aku benar-benar capek. Kemudian aku menyalakan radio, tanpa sadar aku langsung mendengar syair lagu Zigaz,



Sahabat dan cinta, dua hal yang tak mungkin dapat terpisahkan walau tak dapat pula bergabung menjadi satu





Satu kata yang sulit terucap


Hingga batinku tersiksa
Tuhan tolong aku
Jelaskanlah perasaanku berubah jadi cinta
Mungkin cobaan untuk persahabatan
Atau semua takdir Tuhan

Deg... Apa yang aku rasakan saat ini ya Allah? Apakah memang aku benar-benar merasakan cinta? Apakah rasa persahabatan dan persaudaraan yang selama ini ku pupuk berbuah menjadi rasa cinta setelah berbagai macam peristiwa di caldera kemarin? Berbagai macam pertanyaan berkeliaran di pikiranku. Ya Rabb, aku takut jatuh cinta. Hanya satu harapanku, ketika memang aku jatuh cinta, cintakanlah aku pada seseorang yang melabuhkan cintanya padaMu, sehingga makin besar rasa cintaku padaMu pula.


Beberapa bulan kemudian, rasa ini semakin menyiksa. Aku malah ingin sekali menghindar dari kakj Evan. Aku takut akan sebuah penolakan. Aku takut ketika aku mengucapkan apa yang aku rasakan, kak Evan akan menjauhiku. Aku menyimpan rasa ini dalam-dalam. Aku hanya mampu mengutarakan semua yang aku rasakan pada Allah dan lewat buku diary yang senantiasa menemaniku. Hingga tak terasa aku sudah memasuki kelas 3 SMA dan sebentar lagi akan melakukan ujian nasional. Rasa yang semakin membuncah aku tahan dengan sekuat tenaga. Aku sudah tidak pernah lagi membalas pesan singkat dari kak Evan, aku sudah menjauhinya semenjak aku menyadari bahwa ternyata aku mencintainya. Aku menjauhi kak Evan sudah hampir satu tahun, setelah peristiwa di caldera dulu. Farah yang sudah mengerti dengan perasaanku, sudah tak pernah lagi menggodaku dengan menanyakan kabar kak Evan. Aku sangat menyayangi Farah, sahabat terbaikku.


Alhamdulillah, ujian nasional telah aku lewati dengan sukses. Rencanaku selanjutnya adalah kuliah di Jakarta, aku ingin kembali merenda impianku disana. Aku masih bermimpi kuliah di UI, kemudian mengabdikan hidup di daerah terbelakang. Papa keberatan dengan rencanaku, papa menginginkan aku tidak lagi menginjakkan kaki di Jakarta, namun karena melihat impianku yang sangat kuat, papa mengizinkan dengan satu syarat. Syaratnya aku harus ikut jalur SPMB dengan dua pilihan, satu di Jakarta dan satu di Surabaya, aku bersedia. Aku berharap dimanapun aku diterima nanti, itu yang terbaik.


Akhirnya hari pengumuman yang dinanti tiba. Aku diterima di UI, sesuai dengan impianku. Papa dan mama walau berat melepasku, namun aku tetap berangkat. Farah menangisi kepergianku. Farah bertanya,


“Via, kamu sudah ngomong ke maz Evan?”


“Enggak Far. Aku sudah lama gak denger kabarnya. Aku minta tolong ya, sampaikan ucapan terima kasihku ma kak Evan. Maaf aku gak bisa langsung ngomong ma dia.”


Pelukan terhangat ini yang selalu menemaniku dua tahun terakhir. Farah, aku berjanji, aku tak akan pernah melupakanmu. Kamu adalah sahabat terbaikku yang membuat aku menjadi lebih baik. Kamu sahabat pertamaku yang selalu mengajak aku pada kebenaran. Tangis ini tak bisa ku bendung lagi. Aku harus berpisah dengannya, sahabat terbaikku.


Malam ini adalah malam terakhir sebelum aku pergi kembali ke Jakarta. Aku memandang keluar jendela, bulan tersenyum indah ditemani bintang berkelip seakan mengucapkan kalimat perpisahan denganku. Sungguh aku berat meninggalkan semua yang aku dapatkan di kota pesisir ini, namun aku tak mau pula menderita disini karena rasa tersiksa yang luar biasa. Di pinggir jendela, aku menangis sejadi-jadinya. Aku tak bisa membayangkan bahwa aku harus meninggalkan kota pesisir ini dengan hati yang berat. Kemudian tiba-tiba mama masuk ke kamarku,


“Sayang, kamu harus menunda kepergianmu.”


“Kenapa ma? Tiket pesawat kan sudah ada ma. Semua juga sudah siap.”


“Sayang, kamu akan pergi setelah kamu menikah.”


“Maksud mama apa?”


“Pakai jilbabmu nak, lalu ikut mama keluar.”


Aku terkejut luar biasa. ternyata di luar aku melihat kak Evan dan keluarganya serta beberapa orang membawa bingkisan-bingkisan. Aku bingung dengan semua ini. Mama mendekatiku dan merangkulku sambil berbisik,


“Evan dan keluarganya serta beberapa saudaranya datang ke sini untuk melamarmu nak. Kalian akan menikah tiga hari lagi. Mama dan papa minta maaf tidak menceritakan ini padamu. Kami semua sudah menyiapkan ini jauh-jauh hari. Farah juga bantu. Lalu tiket itu, kami belum beli tiket untukmu nak. Setelah kamu menikah nanti, kalian berdua akan tinggal bersama di Jakarta. Evan melanjutkan S2 di universitas yang sama denganmu nak.”


Aku tak mampu berkata apapun. Aku melirik kak Evan, dia hanya memberikan senyuman indahnya. Aku tak menyangka bahwa kedua orang tuaku sudah sangat mengerti akan perasaanku walau aku tak pernah bercerita pada mereka. Ya Rabb, terima kasih atas semua nikmat ini. Ya Rabb, terima kasih pula atas caldera yang Engkau ciptakan.


“Maka nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?”

Komentar

  1. wow... hebat alurnya,semoga... Keep Istiqomah! ! !

    Numpang Promo ya... ^^

    Launch FLP Sidoarjo & Rekrutmen
    14 Agustus 2011, 08.00-13.00
    Tempat : Museum Mpu Tantular
    Pembicara : Bunda Sinta Yhudisia dan Mas Haikal
    Acara : Bedah Novel
    CP : Taufiq 085733520180

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran