Ramadhan Pertama Tanpa Lelaki Hebat

Aku teringat dua tahun yang lalu, 13 maret 2009. Hari Jumat dini hari di sebuah sudut rumah sakit daerah Sidoarjo. Saat aku berniat memejamkan mata sejenak untuk meletakkan lelahku setelah seharian menjaganya tanpa kenal lelah. Namun hanya sekejap aku memejamkan mata, aku mendengar suara tangis pecah dari mulut ibundaku. Aku bertanya dalam pikirku sebenarnya apa yang terjadi, namun seolah diri ini tak berdaya memikirkan semua itu. Dokter dan suster pun berdatangan memeriksa lelaki yang tergolek lemah di atas tempat tidur itu. Aku cemas. Aku takut. Perlahan tetesan hangat ini mengalir pasti dengan derasnya. Aku ingin keluar dari ruangan ini. Aku ingin pergi sejauh-jauhnya. Sungguh aku tak ingin mendengarkan apa yang akan dokter ucapkan. Aku tak ingin. Aku tak ingin. 
 
Aku melihat raut muka dokter berjilbab itu berubah. Aku takut apa yang aku khawatirkan terjadi pagi ini. Dalam pintaku aku berharap kepada Allah jangan mengambilnya dulu dari hidupku. Aku belum siap. Semua ini terlalu cepat. Kemudian dokter itu berdiri dan mendekati ibunda,

“Ibu yang sabar ya. Bapak sudah gak ada.”

Innalillahi wainnailaihi roji’un. Kenyataan itu bagaikan palu godam yang memukul hatiku bertubi-tubi. Aku belum siap. Aku belum siap. Aku berlari keluar kamar. Aku meratap dalam tangis bersandar pada tiang. Aku belum siap menerima ini semua ya Allah. Aku mencoba menguasai hatiku. Aku mencoba menghibur hatiku sendiri. Aku tahu dan aku yakin bahwa keputusan Allah itu tak pernah salah. Namun kenapa harus secepat ini? Ya Allah..

Lelaki terhebatku pergi untuk selamanya meninggalkan aku disini yang lemah tak berdaya

Tak lama kemudian hapeku berdering nyaring, banyak sahabat yang bilang sabar. Banyak aku mendengar kata sabar, sabar, dan sabar. Begitu mudahnya mereka mengucapkan itu semua. Mereka tidak tahu dan mungkin tak akan pernah tahu apa yang aku rasakan. Semakin deras air mata ini berjatuhan. Sampai jenazah bapak dibawa pulang kemudian dimandikan, dikafan, dan disholati, tangis ini pun tak juga reda. Hingga terakhir ketika jenazah bapak sudah masuk keranda dan akan diangkat menuju pemakaman, tangis ini semakin menjadi. Aku semakin meraung. Aku tak dapat mengendalikan diriku sendiri.

Setelah kaum laki-laki mengangkat jenazah bapak ke peristirahatan terakhirnya, aku sudah tidak kuat lagi. Aku berlari ke dalam kamar. Aku meraung seperti pesakitan. Aku menangis seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan. Banyak yang mengetuk pintu kamarku, namun aku tak ingin mereka masuk. Aku hanya ingin sendiri untuk sementara. Di kamar, aku mengenang semua kenangan manisku bersama bapak. Aku anak terakhir di keluarga ini, perempuan pula. Tak pelak bahwa aku adalah anak yang paling manja dan paling dekat dengan bapak. Aku mengingat dengan sabarnya bapak mengantarjemputku saat SMA. Setiap pekan mendatangiku di kos saat kuliah. Tiap awal pekan mengantarku kembali ke kos. Tak lupa pula ketika beliau menungguku saat pendaftaran kuliah. Beliau tak pernah mengeluh. Bapak tak pernah memarahiku. Sungguh sosok lelaki terhebat yang pernah aku miliku dalam hidupku dan sungguh aku tak pernah menyangka bahwa hanya 20 tahun kehidupanku ditemani olehnya. Aku iri dengan beberapa kawanku yang sampai sekarang hingga umurnya mencapai 23 tahun, masih ditemani oleh lelaki terhebat dalam hidupnya. Aku iri. Kadang aku menangis ketika mereka bermanjaan dengan bapak mereka masing-masing, sedangkan aku sendiri harus kuat berpijak diatas kakiku sendiri.

Keputusasaan pun semakin bergentayangan dalam hidupku setelah kepergian bapak. Rasa kesendirian selalu menemani hari-hariku. Hingga tiap malampun aku tak pernah lupa untuk menangisi kepergian beliau. Aku tahu dan aku yakin bahwa kepergian beliau itu yang terbaik. Aku pun juga tidak akan tega ketika melihat beliau terus berada diatas ranjang karena strok yang dialaminya. Namun aku masih belum bisa ikhlas sepenuhnya. Masih ada rasa yang mengganjal. Beberapa hari setelah kepergian bapak, adik bapak bercerita bahwa kemarin dalam mimpinya bapak mendatanginya dan memberi beberapa pesan. Aku semakin terpukul. Aku semakin bingung. Dalam hatiku tersimpan tanya kenapa bapak belum pernah hadir dalam mimpiku, walau hanya sedetik. Sampai hari ini pun, bapak tidak pernah singgah dalam mimpiku. Aku hanya bisa menyimpan tanya ini dalam lubuk hatiku yang terdalam. Aku masih berharap bahwa suatu saat nanti bapak akan hadir dalam mimpiku, walau tidak memberi pesan. Aku hanya ingin rambutku kembali dibelai olehnya, oleh lelaki terhebat yang pernah aku miliki dalam hidupku.

Hingga bulan yang dinanti semua umat Islam pun tiba. Bulan terbaik dari 12 bulan yang ada. Bulan terbukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya rapat-rapat pintu neraka. Bulan yang didalamnya terdapat malam yang lebih baik dari 1000 malam lainnya. Bulan yang paling indah diantara bulan indah yang pernah ada. Kami sekeluargapun menyiapkan itu semua dengan rapi. Membersihkan rumah secara gotong royong, mengubah beberapa tampilan dekorasi rumah, berlatih berpuasa sunnah sebelum puasa wajib nanti, dan masih banyak lagi yang kami lakukan. Tapi aku merasa ada yang kurang persiapan Ramadhan tahun ini. Semua persiapan itu aku lakukan tanpa bapak, kembali aku mengingat kenangan manis tahun lalu disaat membersihkan rumah bersama dengan beliau. Namun aku sudah ikhlas menerima kepergian beliau walau masih terlalu mudah aku menangis ketika ada suatu peristiwa yang membuatku kembali teringat dengan beliau.

Di rumah, di bagian tengah, masih terpampang foto bapak disana. Foto yang selalu ada dalam dompetku pula. Aku tak akan pernah bisa melupakan bapak, aku akan selalu mengingatnya sampai kapanpun. Pernah dulu ada salah satu anggota keluarga yang mencoba menarik foto bapak di ruang tengah, langsung saja aku marah. Sungguh aku tak akan pernah mengizinkan siapapun mengambil atau memindahkan foto beliau.

Ramadhan pun tiba. Umat muslim bangun bersuka cita di pagi hari untuk makan sahur kemudian berbuka saat petang hari. Ketika saat sahur, sungguh aku tak merasakan perbedaan apapun karena memang sejak dulu kami sekeluarga tak pernah sahur berkumpul jadi satu. Tetapi ketika berbuka, biasanya aku berbuka hanya ditemani bapak seorang, namun tidak untuk Ramadhan tahun ini. Aku harus berbuka sendiri. Aku merasakan kenikmatan berbuka itu tak selezat tahun lalu, namun aku masih tetap mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Aku yakin Allah menyiapkan kejutan yang luar biasa dibalik semua ini.

Saat tadarus, bapaklah orang yang senantiasa mengingatkanku dengan tuturnya yang sangat lembut,

“Nduk, gak berangkat darus?”

Kalimat itu selalu terngiang di telingaku setiap saat setelah sholat tarawih di masjid. Beliau yang selalu membangunkanku di tengah malam unuk sahur dengan cara yang paling lembut, cara yang paling aku suka. Beliau pula dengan semangatnya yang selalu ingin membaca buku-bukuku tanpa rasa canggung mengakui bahwa beliau tidak tahu akan sesuatu hal. Beliaupun mengaku membca Al-Qur’an masih terbata-bata, namun bangga karena aku lebih baik dari beliau. Semua kenangan Ramadhan bersama beliau masih tercetak jelas, seperti baru kemarin aku melewatinya. Namun ketika aku membuka mata, aku kembali harus menerima kenyataan bahwa bapak telah tiada. Bapak telah pergi untuk selama-lamanya.

Ramadhan pertama aku lalui dengan luar biasa berat. Tiap aku bangun sahur ketika ku buka kamar tidur beliau, yang aku temukan hanya tempat tidur yang kosong. Aku selalu teringat malam terakhir beliau tidur disana. Kadang saat 10 malam terakhir, merupakan waktu yang sangat berat. Dulu aku selalu berangkat 
bersama dengan ibunda dan kakak ke masjid melaksanakan sholat Lailatul Qadr berjamaah, namun tidak untuk Ramadhan tahun ini. Kakak masih di Jakarta. Ibunda kadang berangkat lebih dahulu. Jadi aku harus berangkat jalan sendiri tengah malam. Tak dapat terelakkan lagi, air mata kembali menemaniku. Dalam setiap sholatku, tak pernah aku lupakan untuk selalu berdoa untukmu lelaki terhebatku.

Puncak tangis yang aku rasakan yaitu saat Idul Fitri tiba. Aku masih ingat sekali ketika hari raya itu tiba, semua pasti sibuk menyiapkan baju dan kue-kue untuk keesokan paginya. Bapak dengan sosok sederhanya hanya menyiapkan baju yang akan dikenakannya. Kadang aku yang menyetrikakan baju beliau, kenangan indah yang saat itu aku tak pernah bisa melakukannya lagi untuk beliau. Keesokan paginya ketika takbir ramai berkumandang, ketika semua bersiap menuju lapangan untuk melakukan sholat Id, aku di kamar kembali teringat akan beliau. Aku kembali menangis pagi hari itu. Aku berharap aku bisa mencium tangan beliau dan meminta maaf atas semua kesalahanku selama beliau menemaniku dalam hidupku. Namun itu semua hanya mimpi. Ternyata Idul Fitri tahun 2008 adalah hari raya terakhir yang bisa aku rasakan bersama beliau. Pagi itu aku kembali mengingat seluruh pesan beliau yang pernah terucap, salah satunya adalah agar aku tidak cengeng. Memang aku orang yang paling cengeng, tetapi aku sadar aku harus berubah.

Tak terasa sudah 2 tahun lebih beliau meninggalkanku disini. Dua kali Ramadhan kulalui tanpa dirinya. Dua tahun lebih aku diberi kesempatan untuk memberanikan diri berdiri diatas kakiku sendiri. Walau aku anak terakhir yang paling manja dan paling cengeng, aku akan berubah menjadi lebih baik lagi. Aku janji, semua akan aku lakukan demi senyum bapak disana dan demi kehidupanku ke depan yang lebih baik lagi. Aku akan terus berusaha menjadi anak sholihah yang terus menerus tanpa kenal lelah selalu mendoakan bapak disana, karena doa anak shalihah langsung tembus ke langit. Doa anak shalihah menjadi salah satu dari tiga jenis amal jariyah yang dipunya bapak. Insya Allah aku akan terus berdoa agar beliau diberi tempat terbaik disisi Allah. Aku berdoa ketika di akhirat nanti, aku kembali dipertemukan dengan beliau di taman surga. Aku akan terus berdoa dan terus mengingat bapak sampai kapanpun. Juga masih terselip pinta dalam setiap doaku agar Allah mengizinkan bapak hadir membelai rambutku, walau hanya dalam mimpi. Aku masih sangat berharap. Pesan yang sangat berharga untuk semua kawanku dimanapun kau berada, bersyukurlah bagi kalian yang masih didampingi lelaki terbaik dalam hidupmu hingga saat ini. Jangan pernah menyiakan mereka, apalagi dimasa tuanya. Simpan rasa sesalmu ketika kau belum sempat berbuat baik kepada lelaki terhebat dalam hidupmu. Kawan, aku mohon, jagalah lelaki terhebatmu masing-masing dalam penjagaanmu yang paling baik, karena kau belum merasakan seperti yang aku rasa. Bersyukurlah Ramadhanmu masih sangat berwarna.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran