Kekuatan Motivasi

Yakinlah akan kekuatan dirimu kawan karena engkau seorang PEMENANG

Tak terhitung lagi sudah berapa kali aku dikecewakan oleh banyak pihak. Mimpi-mimpiku kala itu mulai memudar dengan pastinya. Semangat yang luar biasa dua tahun lalu hilang entah kemana rimbanya. Dukungan dari keluarga pun entah terselip dimana. Seakan dunia ini terus menghimpitku dalam sebuah jurang keterpurukan. Jurang yang akan merenggut semua mimpi-mimpi yang telah aku rancang dengan begitu sempurna. Ataukah memang Tuhan menakdirkan aku hanya sebagai sang pemimpi. Ah, begini rasanya kecewa itu. Jelas aku kecewa yang teramat sangat. Ini adalah naskah cerpenku yang ke 26, tapi dari naskah pertama hingga sekarang tak ada media manapun yang mampu menerbitkan cerpenku.

Ahad pagi itu, satu pekan setelah naskah cerpenku ke 26 ditolak, sungguh aku merasa malas sekali untuk beranjak dari tempat tidurku. Padahal besok adalah deadline terakhir sebuah perlombaan menulis cerpen di sebuah media. Aku tahu siapa aku, aku tak akan pernah mampu menyelesaikan satu naskah cerpen dalam waktu satu hari saja. Tapi entah kenapa pagi ini sungguh tak ada semangat yang mampu menggerakkan aku. Tiba-tiba pintu kamarku diketuk seseorang sambil berkata, “Fan, anak perawan kok pagi-pagi masih tidur. Bangun nak!” Suara cempreng mama mengusik ketenanganku. Dengan seadanya aku menjawab, “Mumpung libur ma, Fani mau bobok lagi ya Ma. Pliss...” Tapi mama langsung saja masuk ke kamarku walau tanpa izinku. Mama, sosok wanita yang khas dengan suara cemprengnya di pagi hari, namun selalu tak mampu membuatku marah sampai kapanpun, karena wajah itu yang mampu meneduhkan hatiku. Mama berkata, “Ganti baju gih. Fani ditunggu papa di depan.” Aku pun kaget dan menjawab, “Ngapain ma? Tumben papa nungguin fani? Emang papa mau beliin Fani mobil ya?” Mama tak menjawab, hanya menyuruhku segera menemui papa. Pikiranku pun berkecamuk dengan indahnya memikirkan tujuan papa menemuiku.

Ternyata papa mengajakku jogging bersama pagi itu. Aneh, papa tak pernah sebelumnya mengajakku jogging. Papa selalu sibuk dengan dunia kerjanya, maklum papa adalah workaholic yang luar biasa. Di tengah perjalanan jogging itu, papa memberikan banyak nasehat kepadaku. Satu kalimat yang memaksa aku untuk berpikir keras adalah ketika papa berkata, “Nak, jadilah seorang pemimpi yang sukses. Raihlah mimpimu walau sampai di ujung langit sana. Gantungkan mimpimu setinggi mungkin. Tapi satu yang harus kau ingat betul nak, Rasulullah bersabda bahwa sesungguhnya semua amal itu bergantung pada niat. Pikirkan itu nak. Papa yakin kau mampu meraih mimpimu itu.” Aku mencoba menelaah nasehat papa dengan logika, tapi masih saja belum teruraikan. Tiba-tiba aku menabrak seorang anak penjual koran. Ternyata ketika aku berpikir keras itu, aku tak memperhatikan jalanan di sekitarku, hingga aku menabrak anak kecil ini. Dia pun menangis dengan nyaringnya. Aku kebingungan. Mataku mencari keberadaan papa, tapi aku tak menemukan sosok papa. Aku langsung membantu anak penjual koran ini bangun dan aku segera meminta maaf. Dengan segala usahaku menghibur, akhirnya anak ini berhenti juga menangis. Aku bertanya kepadanya, “Adik, maafin kakak ya. Bagian mana yang sakit? Kakak gak sengaja nabrak adik.” Dia pun menunjuk ke arah hatinya. Aku semakin bingung apa maksud anak kecil ini. Kemudian dia menjawab, “Hati aku yang sakit kak. Kakak tahu, berapa lama aku menabung dari hasil jualan koran karena ingin membelikan ibuku hadiah gelas satu lusin? Ibu gak punya gelas kak di rumah. Tapi setelah tiga bulan lamanya aku jualan koran dan mampu beli gelas, kakak dengan enaknya menabrakku.” Aku merasa tamparan keras menghantam pipiku mendengar kata-kata polos yang meluncur dari adik penjual koran ini. Dia pun melanjutkan dengan nada yang semakin keras, “Lihat hasil dari perbuatan kakak! Gelas itu pecah dan aku tak mampu membuat ibu bahagia.” Kemudian adik kecil ini langsung lari dengan kecepatan tinggi meninggalkan aku dengan rasa bersalahku yang luar biasa. Entah kenapa aku tak mampu mengejarnya. Rasanya tubuh ini begitu berat. Perlahan tetesan hangat membasahi pipi ini. Aku pun duduk merenungi apa yang aku alami baru saja. Satu pemikiranku kembali berubah. Satu alasan adik kecil itu berjualan koran adalah keinginan untuk membelikan ibunya gelas, jadi dengan kata lain, ada sebuah usaha dari impian adik itu. Adik mempunyai impian membeli gelas karena ibunya tidak memiliki gelas, sehingga apapun akan dilakukannya hingga bisa meraih mimpi itu. Bukankah sama sepertiku? Aku pun bermimpi menjadi seorang penulis sukses sehingga hampir 99 naskah aku kirimkan ke berbagai media, tapi belum ada satu pun yang dimuat. Semakin bingung aku dibuat dengan pemikiran-pemikiranku sendiri. Aku pun berjalan gontai pulang ke rumah.

Sesampainya di rumah, ternyata aku melihat adik kecil penjual koran tadi berbincang dengan papa. Aku pun heran, apa sebenarnya maksud dari peristiwa yang aku alami pagi ini. Melihat keherananku, papa berkata, “Fan, kamu harus mencontoh adik ini. Dia ingin membeli gelas buat ibunya agar ibunya tidak malu lagi ketika ada tamu yang datang.” Aku pun semakin berpikir keras. Aku langsung masuk kamar tanpa menghiraukan papa dan adik penjual koran itu. Aku melihat diriku di depan kaca, menghubungkan semua perkataan papa dengan yang aku alami pagi ini. Setelah satu jam kemudian, baru aku menyadari semuanya, bahwa untuk meraih sebuah mimpi, diperlukan motivasi yang luar biasa. Entah kenapa tiba-tiba jari lentikku menari dengan indahnya di depan laptopku. Hingga tiada terasa berapa waktu yang aku butuhkan, aku telah mampu membuat sebuah cerpen. Aku langsung mengirimkan cerpenku dalam perlombaan itu.

Dua pekan setelah perlombaan ditutup, aku mencari pengumuman hasil perlombaan. Luar biasa, ternyata naskah cerpenku menjadi yang pertama, aku juara satu. Aku mencari mama dan papa untuk berbagi kabar gembira ini. Aku menemukan mereka di kamarnya, tanpa permisi aku langsung berlari dan memeluk mereka. Satu ilmu yang aku dapatkan kembali dari lelaki terhebat dalam hidupku, bahwa sesungguhnya semua amal itu bergantung pada niat, dengan kata lain bahwa semua impian itu bergantung pada kekuatan sebuah motivasi. Aku baru menemukan motivasi untuk menulis dari papa dan adik kecil penjual koran itu. Aku bermimpi menjadi seorang penulis sukses karena aku ingin membuktikan pada dunia bahwa anak tunggal tidak selamanya dihiasi dengan kemanjaan dan kelemahan. Aku telah membuktikan itu. Senyum kebanggaan dari mama dan papa merupakan pupuk dari motivasi yang telah aku temukan. Tak henti lisan ini mengucapkan syukur kepada Allah, Sang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tak salah Rasulullah bersabda, “Setiap amalan itu bergantung pada niat.” Dengan analogiku, setiap mimpi itu bergantung pada kekuatan motivasi. Terima kasih ya Rabb. Terima kasih ya Rasul. Aku baru menyadari betapa ajaran Islam sungguh sempurna.


-Thomas Alva Edison 999 penelitiannya gagal dan penelitiannya yang ke 1000 sukses-
Fyhuma Az-Zahra

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran