Sahabat yang Terbuang part 7

Aku sangat paham, suamiku nanti akan memiliki kesamaan denganku. Karena Allah berfirman bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan wanita yang keji untuk lelaki yang keji pula. Janji Allah itulah yang selalu ku pegang hingga hari ini dan selamanya sampai aku menemukannya. Oleh karenanya aku selalu memperbaiki diri, karena ku ingin dimanapun dia berada sekarang, dia juga sedang memperbaiki dirinya. Sungguh, aku pun tak ingin menodai hatiku. Karena aku tak ingin pula hati suamiku nanti pernah diisi oleh wanita lain selain aku. Aku tak ingin berpacaran sampai hari ini, karena aku juga ingin suamiku nanti memiliki pacar pertama dan terakhirnya, yaitu aku. Aku akan selalu menjaga semua ini hingga waktu yang telah dijanjikan Allah itu tiba. Waktu ketika aku bertemu dengan pendamping hidupku di dunia dan di akhirat. Tetapi sekarang, aku berkhianat. Aku telah menodai hatiku sendiri. Aku mencintai orang lain, bukan suamiku. Astaghfirullahaladzim. Berulang kali istighfar terucap mengiringi tetesan bening ini. Tetapi bagaimanapun juga, aku tak boleh terpedaya. Cinta ini hanya nafsu belaka. Aku harus bisa mengendalikannya. Ya, aku harus bisa. Karena aku tak ingin mengecewakan suamiku. Aku tak ingin membuat Allah cemburu. Aku tak ingin membuat Rasulullah marah.

Aku sangat paham, suamiku nanti akan memiliki kesamaan denganku. Karena Allah berfirman bahwa wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan wanita yang keji untuk lelaki yang keji pula. Janji Allah itulah yang selalu ku pegang hingga hari ini dan selamanya sampai aku menemukannya. Oleh karenanya aku selalu memperbaiki diri, karena ku ingin dimanapun dia berada sekarang, dia juga sedang memperbaiki dirinya. Sungguh, aku pun tak ingin menodai hatiku. Karena aku tak ingin pula hati suamiku nanti pernah diisi oleh wanita lain selain aku. Aku tak ingin berpacaran sampai hari ini, karena aku juga ingin suamiku nanti memiliki pacar pertama dan terakhirnya, yaitu aku. Aku akan selalu menjaga semua ini hingga waktu yang telah dijanjikan Allah itu tiba. Waktu ketika aku bertemu dengan pendamping hidupku di dunia dan di akhirat. Tetapi sekarang, aku berkhianat. Aku telah menodai hatiku sendiri. Aku mencintai orang lain, bukan suamiku. Astaghfirullahaladzim. Berulang kali istighfar terucap mengiringi tetesan bening ini. Tetapi bagaimanapun juga, aku tak boleh terpedaya. Cinta ini hanya nafsu belaka. Aku harus bisa mengendalikannya. Ya, aku harus bisa. Karena aku tak ingin mengecewakan suamiku. Aku tak ingin membuat Allah cemburu. Aku tak ingin membuat Rasulullah marah.

Dia suamiku, anak mertuaku yang belum ku ketahui namanya
Tiga hari kemudian, abang Fika bertandang ke kontrakan baru kami. Kami berdua mengontrak rumah kecil agar lebih nyaman. Abang Fika bernama Ardi. Bang Ardi menyampaikan jawaban Hafiz. Fika pun tak sabar mendengarnya. Aku hanya bisa berharap semoga sahabatku ini dapat mewujudkan niatnya yang mulia, untuk menyegerakan menggenapkan agamanya. Ternyata jawaban Hafiz tidak selaras dengan keinginan kami semua. Bang Ardi memberitahukan bahwa Hafiz selama ini sudah mempunyai niatan untuk menikah dengan seseorang, tetapi orang itu bukanlah Fika. Jawaban yang sangat tak kuinginkan untuk didengar sahabatku tersayang ini. Fika langsung berlari ke kamarnya dan mengunci diri dalam kamar. Aku hanya bisa diam tak berkutik. Aku tak kuat melihat sahabatku menangis. Bang Ardi pun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Kemudian Bang Ardi mengatakan bahwa dia tahu siapa orang yang dimaksud Hafiz. Aku pun penasaran dan langsung bertanya, siapa dia. Seseorang yang merenggut impian Fika. Bang Ardi menjawab, orang yang Hafiz ingin nikahi adalah aku. Pyarrr.... Gelas yang akan ku bawa ke belakang jatuh dan pecah. Bagai disengat listrik ribuan kilo Volt, hatiku bergetar tak mampu ku kendalikan. Dunia seakan berhenti berputar. Tubuh ini serasa tak mampu berdiri lagi. Aku pun terhuyung dan terduduk di kursi ruang tamu yang baru kami beli sepekan yang lalu. Aku tak bisa berkata apapun. Perlahan aku berusaha menguasai pikiranku. Ku atur nafasku yang tak beraturan. Pelan-pelan aku menggapai akal sehatku.

Bang Ardi mencoba membantuku untuk tenang. Aku ingin bertemu dengan Hafiz sekarang juga. Aku penasaran, siapa Hafiz ini sebenarnya. Bang Ardi bilang kalau aku tak bisa bertemu Hafiz sekarang karena Hafiz tadi pagi pergi ke negeri sakura untuk mengurus kepulangannya kembali ke Indonesia. Aku pun bertanya apa memang yang dilakukannya ketika di negeri seberang. Kata Bang Ardi, Hafiz baru saja mengambil program S3 di sana. Pikiranku pun langsung tertuju pada kakak. Apa kakak dan Hafiz ini orang yang sama? Pertanyaan yang sangat ingin ku ketahui jawabannya. Tetapi di lain sisi, aku sangat takut. Bagaimana kalau nanti kakak dan Hafiz itu orang yang sama? Alhamdulillah kalau beda. Pergolakan dalam hatiku membuatku berkeringat padahal saat itu di luar sedang hujan gerimis. Aku pun berpikir, darimana aku tahu apakah kakak dan Hafiz itu orang yang sama atau beda. Kembali aku mendzolimi otakku untuk terus berpikir keras bagaimana caranya. Yang aku tahu dari kakak, hanya nomor hapenya. Ya, nomor hapenya. Aku meminta nomor hape Hafiz kepada Bang Ardi. Ketika Bang Ardi memberitahukannya, langsung aku coba memanggil nomor ini. Brukkk.... Bagaikan tertimpa benda yang sangat jatuh, aku terhuyung kembali. Ternyata nomor hape mereka sama. Nomor hape Hafiz dan kakak sama. Jadi, kakak itu Hafiz dan Hafiz itu kakak. Astaghfirullah, kenapa masalah yang ku hadapi sekarang menjadi paling rumit. Ya Rabb, hamba tak kuasa menerima ini semua. Bang Ardi bingung dengan kekagetanku. Aku pun menceritakan semua tentang kakak, sosok misterius yang selama ini hadir dalam kehidupanku. Sosok yang juga ku ceritakan kepada Fika. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti sebelumnya bahwa nama kakak adalah Hafiz. Bang Ardi pun tersenyum getir. Permasalahan ini terlalu kompleks.

Aku meminta Bang Ardi menceritakan siapa Hafiz sebenarnya. Bang Ardi menceritakan semua. Hafiz itu kakak dari sahabat Fika semasa SMA. Tetapi Fika baru kenal Hafiz ketika sesaat memasuki dunia kampus. Karena sebelumnya Hafiz bersekolah di pondok pesantren dan mengabdikan diri selama dua tahun di pedalaman untuk mengajarkan agama Islam. Ketika pertama kali Fika bertemu dengan Hafiz, Fika sudah merasakan lain, banyak orang menyebutnya cinta pada pandangan pertama. Hafiz ternyata juga kuliah di kampus yang sama dengan aku. Hafiz dua tingkat di atas kami, walau usianya terpaut lima angka dengan angkatan kami. Hafiz tipe orang yang pendiam di kampus, karena dia lebih banyak aktif di organisasi ekstra kampus. Hingga wajar aku tak pernah mengenalnya, karena aku lebih aktif di organisasi intra kampus. Fika memang juga ikut organisasi ekstra kampus. Mungkin karena itu, akhirnya benih cinta itu makin lama makin tumbuh berkembang hingga hari ini. Meskipun Hafiz pendiam, dia selalu menolong teman-temannya. Sifat itu yang semakin membuat Fika kagum. Tetapi aku heran, aku tak pernah mengenal Hafiz, tetapi dia tahu dari mana nomor hapeku. Kata Bang Ardi, Hafiz mendapat nomorku dari rekannya yang kenal denganku. Dari awal aku masuk sebagai mahasiswa baru, Hafiz sudah memperhatikan aku. Padahal aku sama sekali tidak menyadarinya.

Aku harus yakin bahwa Allah memberi cobaan kepada hambaNya sesuai dengan kekuatan hambaNya. Tetapi untuk satu masalah ini, aku merasa ini terlalu berat untuk ku tanggung sendirian. Kepada siapa lagi aku harus mengeluh kalau bukan pada Sang Penciptaku. Malam-malam berikutnya ku hiasi dengan bermunajat padaNya, meminta bantuannya atas solusi dari permasalahan ini. Hati ini harus selalu dikuatkan dengan janji Allah bahwa setelah kesulitan ada kemudahan. Aku harus yakin itu. Allah itu memberi masalah selalu sepaket dengan solusinya. Mungkin sekarang aku masih terpaku pada satu titik, padahal Allah itu mempunyai beribu macam cara untuk membantu hambaNya. Tak terasa sepekan setelah kejadian terheboh yang ku alami itu, Fika mengetahui siapa yang diingini Hafiz untuk dinikahi. Tetapi awalnya aku tak mengetahui itu semua. Tanpa sepengetahuanku, Fika mengurus surat mutasinya ke daerah lain agar dapat berpisah denganku.

Beberapa hari kemudian ketika aku pulang dari kantor, aku tak menemukan Fika dan barang-barangnya yang lain. Kamar Fika kosong tanpa ada isi apapun. Aku hanya bisa menangis. Fika meninggalkan sepucuk surat di sudut kamar ini. Surat yang amat singkat, Fika menulis TERIMA KASIH ATAS KEBERSAMAAN LIMA TAHUN TERAKHIR, TAPI PENGKHIANATANMU TELAH MEMBAKAR SEMUA KENANGAN INDAH DULU. Remuk redam hatiku ketika membaca tulisan Fika ini. Sungguh, aku sama sekali tak berniat membuat semua kenangan indah dulu itu terbakar hanya dengan sebuah pengkhianatan yang aku sendiri pun tak menyadarinya. Ya Allah, ada apa lagi ini. Kembali, aku hanya bisa menangis. Kesalahan terbesarku kembali terulang. Aku melukai sahabatku. Masih segar dalam ingatanku ketika Okta ternyata pergi karena cinta. Sekarang Fika pun demikian. Kini, tinggal aku sendiri. Tanpa sahabat. Aku sudah tak memunyai kekayaan yang sebenarnya. Aku sendiri. Aku hanya bisa menyesal. Menangis. Semakin aku menyadari, bahwa aku adalah sahabat yang terbuang. Ya, itu sepertinya paling tepat.

Sungguh ketika aku diperbolehkan memilih antara cinta dan sahabat
Kini, aku benar-benar sendiri dalam menjalani hidup. Semangat hidupku pun semakin terurai dan perlahan menghilang. Tak ada lagi visi dalam hidupku. Misi pun seakan makin samar. Peta hidup berupa target beberapa tahun ke depan tak mampu memberiku semangat tuk bangkit. Kali ini aku merasakan jatuh yang teramat sangat. Aku sudah tiga hari tak masuk kantor. Tubuhku terlalu lemas untuk bergerak. Bahkan untuk berjalan ke rumah sakit pun, aku tak mampu. Aku hanya berdiam di kontrakan. Hingga besoknya Bunda datang ke kontrakanku. Bunda datang dengan cucuran air mata yang hebat. Aku mencoba menenangkan Bunda. Aku kira, Bunda khawatir dengan keberadaanku. Tetapi kan aku tak pernah memberitahu bunda kalau aku sakit. Aku pun bertanya kepada bunda alasan dia menangis. Ternyata bunda membawa kabar duka. Kabar yang membuatku semakin hancur, jatuh, dan terpuruk. Bunda memberitahuku bahwa Allah lebih menyayangi ayah. Aku masih sulit mencerna kata bunda itu dengan tubuhku yang lemas. Bunda mengulangi lagi dengan berkata bahwa ayah telah pergi untuk selamanya. Aku semakin tak kuat menerima semua ini. Aku berteriak-teriak memanggil nama ayah. Bunda hanya bisa memelukku dalam dekapannya yang selalu ku rindukan. Ayah meninggal, ayah meninggal terlalu cepat dan tanpa isyarat apapun. Ayah meninggal karena kecelakaan hebat yang dialaminya. Hingga ayah mengalami pendarahan otak dan akhirnya tidak dapat tertolong lagi. Kecelakaan itu terjadi ketika ayah hendak pergi ke kantor pusat untuk mengambil sesuatu. Jenazah ayah hari ini tiba di rumah, karenanya bunda menjemputku. Ku rasa tubuh ini benar-benar tak mampu ku gerakkan. Tapi melihat bunda menangis, ada semangat yang kembali timbul dalam diriku. Aku harus menggantikan posisi ayah. Aku harus menjaga bunda di masa tuanya. Aku harus memenuhi kebutuhan bunda. Hanya aku yang bunda punya di dunia ini. Karena dulunya bunda juga anak tunggal. Ayah mempunyai keluarga besar. Tetapi sampai umurku dua puluh tiga tahun ini, keluarga besar ayah tak pernah menganggap ada aku dan bunda. Memang, orang tua ayah dulu menentang pernikahan ayah dan bunda. Tahukah engkau kawan apa alsan penentangan itu? Hanya karena bunda itu orang miskin. Ya, miskin. Sehina itukah orang miskin di mata orang kaya? Untuk orang kaya, belum tentu dengan kekayaanmu itu membuat derajatmu lebih tinggi dari orang miskin di mata Allah, camkan itu. Allah mleihat ketaqwaan kita, bukan dari kekayaan.
 
Prosesi pemakaman ayah dipenuhi hujan tangis dari tetangga dan rekan kerja ayah di kantor. Aku berusaha setegar mungkin untuk tidak menangis walau sebenarnya aku merasa hancur. Aku harus sadar, aku mempunyai bunda yang sudah berada dalam usia senjanya. Aku harus merawatnya. Sebagai bentuk pengabdianku yang lima tahun ini aku jauh dengannya. Meski apapun yang ku lakukan buat bunda, tak akan mampu membayar semua yang pernah bunda lakukan kepadaku. Dari ketika aku berada dalam kandungannya, hingga aku telah mampu menafkahi diriku sendiri. Sampai kapanpun tak akan pernah terbalas. Terlalu mulia yang pernah bunda lakukan. Aku harus berbakti kepada orang tua. Apalagi kini orang tuaku hanya tinggal bunda seorang.

Aku memutuskan membawa bunda tinggal bersama di kontrakan yang aku beli bersama dengan Fika. Sempat bunda bertanya keberadaan Fika, tapi aku selalu belum sempat menceritakan semua. Tapi aku janji pada diriku sendiri, aku akan menyempatkan waktuku maksimal bulan depan untuk menceritakan semua pada bunda. Dengan kesibukanku dalam bekerja, bunda di rumah juga mempunyai kesibukan. Bunda mengikuti kegiatan-kegiatan dakwah ibu-dibu di sekitar lingkungan kontrakan. Alhamdulillah, minimal bunda tak banyak memiliki waktu tuk sendiri. Karena jika sendiri, bunda pasti menangis karena mengingat ayah. Aku pun juga mulai mengaktifkan diri dalam organisasi-organisasi dakwah yang membuatku kembali memiliki sahabat tempat berbagi. Tiga bulan waktu yang kami butuhkan untuk bangkit dari semua keterpurukan ini. Bunda pun selalu menguatkan aku. Bunda tak menyalahkanku ketika sudah mengetahui tentang permasalahanku dengan Fika.

Hari ini hari ahad. Alhamdulillah aku bisa menghabiskan waktu berdua dengan bunda di rumah. Pagi setelah solat subuh berjama’ah, aku dan bunda jalan-jalan ke lapangan dekat rumah sambil bercanda. Kehangatan yang telah lama tak ku rasakan semenjak aku sibuk dengan sekolah dan kerjaku. Tak henti syukur selalu kupanjatkan kepada Rabb Maha Cinta. Ketika sepulang dari jalan-jalan, kami berbelanja di pasar dekat kontrakan. Tak sengaja di sana kami bertemu dengan Armand, adik Okta. Bunda mengajak Armand mampir ke rumah sekalian sarapan di rumah. Armand tak keberatan. Ketika selesai sarapan, Armand menyampaikan bela sungkawa atas kepergian ayah dan permintaan maafnya tak bisa hadir kala itu. Kami hanya mengharapka Armand juga mendoakan ayah agar mendapat tempat terbaik di sisi Allah. Seperti doaku yang selama ini ku panjatkan dalam tiap selesai sholat. Aku memohon Allah membebaskan ayah dari segala siksa kubur. Memohon agar dosa ayah dapat diampuni. Berharap agar ayah mendapatkan tempat terbaik di sisiNya. Karena doa dari anak yang sholehah insya Allah akan sampai dan terkabulkan. Amien ya Rabb...

Ketika bunda ada tamu, aku dan Armand masih di meja makan. Armand menyemangatiku atas semua masalah yang ku hadapi. Armand pun mengetahui masalahku dengan Fika. Aku hanya bisa terdiam. Ya, karena tiga bulan terakhir aku sengaja tak memikirkan yang lalu. Aku fokus untuk bangkit dari keterpurukan demi melihat senyum bunda. Armand mengetahui itu semua dari Bang Ardi, kakak Fika. Karena Bang Ardi dan Armand sama-sama aktif di mapala kampus kami. Armand lanjut bercerita, dia ingin memberitahukan sesuatu yang mungkin belum aku ketahui. Aku pun semakin penasaran. Permasalahan apa lagi yang akan aku hadapi. Armand mengungkit tentang si “dia” dalam diary biru Okta, ternyata si “dia” adalah Hafiz. Aku kembali lemas kali ini. Kenapa semua tertuju pada satu orang yang bernama Hafiz. Sungguh aku tak mengira bahwa aku penyebab kedua sahabatku patah hati dan akhirnya keduanya meninggalkan aku. Perlahan, aku mulai membenci seseorang yang bernama Hafiz. Seseorang yang membuatku masuk ke dalam jurang yang terlalu dalam. Seseorang yang membuatku harus melukai hati kedua sahabatku. Seseorang yang membuatku melukai hati suamiku nanti. Aku benci dia. Aku benci Hafiz. Armand merasakan aura kebencian yang aku rasakan. Hingga dia berkata bahwa semua ini bukan salah Hafiz. Semua tergantung individu masing-masing. Hafiz pun tak pernah meminta agar Okta dan Fika mencintainya. Hafiz pun juga tak pernah berniat memisahkan aku dari kedua sahabatku itu. Satu yang Hafiz ketahui, ketika dia mengerti makna cinta, dia mengerti dari aku. Semua yang dikatakan Armand membuatku semakin bingung. Aku tak tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku pun sampai detik ini tak tahu seperti apa sosok seorang Hafiz yang telah berkontribusi besar dalam perjalanan hidupku beberapa tahun terakhir. Armand hanya memberitahu bahwa sekarang Hafiz sudah menjadi seorang pengusaha sukses di ibukota. Sepulang dari negara sakura, Hafiz mengetahui semua permasalahan aku dan Fika. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk tidak memperkeruh suasana dengan menjauh dari kami.

Hafiz, sosok yang telah banyak menimbulkan permasalahan dalam hidupku selama lima tahun terakhir. Padahal sekalipun aku tak pernah melihat wajahnya. Kepura-puraannya yang bilang salah sambung, aku pun tak menyadari itu semua. Bahwa salah sambung itulah awal petaka dari semua ini. Telah banyak hati yang tersayat sembilu karena aku. Karena aku telah mengenal dan merasakan sebuah perasaan yang banyak orang bilang anugerah terindah. Tapi mungkin tidak bagiku kawan. Hingga saat ini, aku belum merasakan keindahan itu. Ahhhhh.... Pedih rasanya ketika mendengar namanya disebut. Ingin ku menghilang saja dan pergi menjauh sejauh-jauhnya dari dia. Hingga pergi ke suatu daerah yang tak akan pernah aku mendengar namanya. Ketika hingga saat ini aku belum pernah bertemu dengannya, aku pun tak menginginkan berjumpa dengannya. Biarkan dia dengan dunia barunya dan aku dengan duniaku sendiri. Aku dan dia tak mungkin bisa bersama. Akan banyak hati yang terluka. Akan banyak orang yang mengecam kebersamaan kami nanti. Aku pun harus menjaga hati sahabatku, walaupun mungkin aku tak akan pernah bertemu dengan mereka kembali. Lupakan semuanya. Kembali membersihkan hati dari nama-nama yang tidak penting. Hingga suatu saat nanti akan digantikan oleh sebuah nama yang kan terukir indah untuk selamanya, yaitu nama suamiku kelak.

Aku mendapat amanah dari kantor untuk melakukan presentasi ke sebuah perusahaan swasta di ibukota dengan tujuan menawarkan kerjasama untuk meningkatkan kemajuan ekonomi dan mengentas kemiskinan di negara yang indah ini. Dari sebulan yang lalu, aku menyiapkan semua bahan yang diperlukan. Aku berangkat ke ibukota dengan rekan kantorku lainnya bernama Lenny. Berdua kami berangkat pagi hari. Sesampainya di ibukota, kami langsung dijemput dan dipersilakan beristirahat sejenak di hotel dekat perusahaan itu. Lenny bertanya kepadaku tentang siapa direktur utama perusahaan itu. Aku menjawab tak tahu karena memang sama sekali aku tak mengerti. Aku hanya menjalankan tugasku untuk mempresentasikan program kerja sama. Lenny bercerita bahwa presdirnya masih muda dan belum menikah, baru lulus S3 di negeri sakura pula. Aku tak tertarik membahasnya. Terserah siapa aza presdirnya, tidak akan mempengaruhi aku. Lenny pun berpesan agar aku tak terlena dengan presdirnya. Lenny menggodaku terus menerus. Beruntung Lenny, dia sudah menikah sebulan yang lalu, jadi aku tidak bisa membalas menggodanya. Ketika waktu menunjukkan pukul sembilan lebih tiga puluh menit, kami dijemput untuk segera ke perusahaan. Aku ringan saja melangkah seakan tak ada beban. Memang ini pekerjaanku, aku sudah merasa nyaman dan terbiasa. Kami tiba di tempat terlebih dahulu. Sambil menunggu pihak dari perusahaan datang, aku mempersiapkan semuanya. Kemudian satu persatu pihak perusahaan itu datang. Wajahnya tak ada yang aku kenal. Akhirnya aku mempresentasikan programnya dan menjawab semua pertanyaan dengan lancar. Akhirnya kami langsung sepakat menandatangani surat perjanjian kerjasama. Salah satu dari pihak perusahaan yang bernama Pak Rudi mengatakan, menunggu seseorang lagi. Aku pun kaget, menunggu siapa lagi ya? Bukannya Pak Rudi ini presdirnya, apa ada posisi lebih tinggi dari presdir ya. Aku semakin tak mengerti. Tak lama kemudian seseorang datang. Sosok wajah yang sepertinya tak asing buatku. Tapi siapa dia, aku tak mengerti. Lenny mencubit lenganku sambil berbisik bahwa itu presdirnya. Aku hanya tersenyum kecut karena kesakitan. Kemudian Pak Rudi mempersilakan aku untuk tanda tangan terlebih dahulu. Ketika aku membuka map itu, aku langsung mencari tempat dimana aku harus membubuhkan tanda tanganku. Tatapi sebentar, di samping tempat itu adalah tanda tangan presdir. Di situ tertera nama Muhammad Hafiz Al-Fikri. Aku pun langsung melihat ke arah presdirnya. Mungkinkah ini yang namanya Hafiz yang selama ini misterius buatku. Aku pun memandangnya dengan penuh kebencian. Cepat aku langsung mengambil hapeku dan memanggil nomor yang aku namai kakak. Tak ku sangka, hape pak presdir itu berbunyi. Presdir itu langsung bingung apa yang harus dilakukannya. Aku pun berlari meninggalkan tempat itu. Aku berlari menuju hotel dan langsung berkemas. Aku ingin pulang secepatnya. Tanpa pikir panjang aku memesan tiket kepulanganku. Sama sekali aku tak pernah menyangka bertemu dengan orang yang selama ini sangat aku benci. Apalagi dalam forum yang pasti sangat berharga.

Presentasi yang tak mudah bagi sebagian orang
Setelah peristiwa itu, semua rekan kerja di kantor menyalahkan aku. Kantor kami gagal bekerja sama dengan perusahaan ibukota itu. Dan puncaknya, aku dipecat dari kantor. Aku hanya mendapatkan pesangon yang mungkin hanya cukup menghidupi aku dan bunda selama dua bulan. Kembali hati ini dipenuhi kebencian pada sosok yang benar-benar telah berperan utama dalam menghancurkan hidupku. Setelah memisahkan aku dengan sahabat-sahabatku, sekarang dia telah mengantarkan aku menjadi gelandangan. Sungguh sangat hebat dia. Aku langsung pulang ke rumah. Selama perjalanan pulang, aku tak bisa berpikir jernih. Seakan semua tak ada yang bersahabat. Dunia seakan menghimpit kehidupanku. Aku hanya bisa merenung sambil menangis.

tunggu episode terakhir ya kawan
happy ending ataukah sad ending?????
hehehehe

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran