Sahabat yang Terbuang Part 7 (the ending story...)

Setelah peristiwa itu, semua rekan kerja di kantor menyalahkan aku. Kantor kami gagal bekerja sama dengan perusahaan ibukota itu. Dan puncaknya, aku dipecat dari kantor. Aku hanya mendapatkan pesangon yang mungkin hanya cukup menghidupi aku dan bunda selama dua bulan. Kembali hati ini dipenuhi kebencian pada sosok yang benar-benar telah berperan utama dalam menghancurkan hidupku. Setelah memisahkan aku dengan sahabat-sahabatku, sekarang dia telah mengantarkan aku menjadi gelandangan. Sungguh sangat hebat dia. Aku langsung pulang ke rumah. Selama perjalanan pulang, aku tak bisa berpikir jernih. Seakan semua tak ada yang bersahabat. Dunia seakan menghimpit kehidupanku. Aku hanya bisa merenung sambil menangis.

Sesampainya di rumah, bunda melihatku. Aku ceritakan semua permasalahan yang ku hadapi. Bunda tetap tersenyum tegar. Walau sebenarnya aku tahu dalam hatinya, bunda pasti menangis melihat putrinya mendapat cobaan yang begitu dahsyat. Aku hanya bisa memeluk bunda. Bersandar di bahunya mampu membuat aku kuat dalam keadaan apapun. Pundak yang selama hampir seperempat abad selalu ada buatku. Pundak yang luar biasa. Seorang ibu yang selalu membuat anaknya bisa tersenyum dalam keadaan apapun. Bunda berusaha menguatkan aku. Ketika memang aku dipecat, bunda akan berusaha membuka warung di depan rumah. Bunda bercerita tentang kesuksesan warung itu suatu saat nanti. Ya, inilah bunda. Bunda terhebat yang ada di dunia. Bunda yang selalu mampu membuat ananda tersenyum bahagia. Perlahan seulas senyum terpatri di bibir manisku.

Ibuku adalah pahlawanku... ^_^
Keesokan paginya setelah sholat subuh berjamaah, bunda mengajakku pergi ke pasar untuk berbelanja keperluan warung yang baru akan kami buat pertama kali di depan rumah. Kami berjalan berdampingan menuju pasar. Suasana hening pagi itu menambah kemesraan kami. Udara yang sejuk menyegarkan pernafasan kami. Oksigen yang masih cukup bersih di pagi hari mampu membuat kami merasa tenang. Setibanya di pasar, hiruk pikuk transaksi jual beli membahana di segala penjuru. Ada seorang ibu-ibu yang mencoba menawar harga sayur. Ada seorang penjual yang menjajakan dagangannya sambil berteriak-teriak. Ada anak kecil yang membantu membawakan belanjaan ibunya dengan susah payah. Semua beradu bagaikan sebuah simfoni yang tak dapat dipisahkan dari tempat tradisional ini. Semua seakan menyatu membentuk suatu kesatuan. Benar-benar serasi dan terlihat indah. Maha Besar Allah dengan segala kekuasaanNya. Bunda memulai belanjanya dengan membeli beras, sayur, dan semua bahan lainnya. Aku hanya dapat melihat dan mengamati apa yang dilakukan bunda. Sambil berpikir ketika suatu saat nanti aku harus menjadi ibu, apa aku bisa melakukan seperti yang bunda lakukan kepadaku? Menjadi pundak yang kuat untuk anaknya. Menggantikan sosok ayah sebagai pencari nafkah dan memimpin keluarga. Menjadi orang yang selalu bisa membuat anaknya tersenyum, walau hanya dengan senyum manisnya. Bunda, betapa mulianya engkau menjadi wanita penghuni bumi. Aku yakin, kaulah yang membuat bidadari-bidadari surga cemburu dengan wanita muslimah. Tetesan bening perlahan menetes membasahi pipi. Aku teringat ayah. Ya Rabb, hamba mohon berikan tempat terbaik buat ayah di sisiMu. Persatukan kembali keluarga kecil kami di jannahMu kelak. Amien...

Setelah semua belanjaan terbeli, kami berjalan pulang dengan riang. Di seberang jalan, bunda melihat ada bapak-bapak yang berjualan daging ayam. Sambil melihat barang dagangan bapak itu yang ternyata tinggal beberapa potong saja, bunda pun langsung menyeberang tanpa melihat kanan kiri jalan yang ramai itu. Kemudian braaakkkkk....... Tubuhku gemetar seakan tak kuat menopang berat badanku dan belanjaan yang ku bawa. Mataku seakan berkunang samar melihat apa yang terjadi di depanku. Aku terhuyung jatuh duduk di atas trotoar jalan ini. Semua orang berkerumun. Semua orang berteriak. Semua terkejut, terlebih aku. Aku pun menguatkan diri untuk melihat keadaan bundaku. Ya, bunda ditabrak mobil ketika menyeberang tadi. Bunda bermandikan darah di tengah jalan. Bunda bersujud. Aku mendekati bunda. Bunda sempat berkata, “Terus berjuang untuk masa depanmu nak.” Hanya itu kalimat terakhir yang bunda ucapkan. Setelah itu, bunda mengagungkan asma Allah sambil terus berdzikir. Beberapa detik kemudian, bunda menghembuskan nafas terakhirnya. Innalillahi wa innaillaihi rojiiun. Semua berasal dari Allah dan akan kembali padaNya juga. Ambulans datang dengan sirinenya yang meraung-raung. Aku menguatkan membawa diri ini menemani bunda hingga ke rumah sakit. Dalam perjalanan aku tak mampu berkata apapun. Sopir mobil yang menabrak bunda, ikut mengantar kami ke rumah sakit. Di rumah sakit, bunda dimandikan dan dikafani. Aku hanya meminta bunda segera dikuburkan. Aku tak tega melihat bunda lebih lama lagi, walau aku tahu mungkin inilah terakhir kali aku menatap wajah teduhnya. Di rumah, semua tetangga membantu pemakaman bunda. Aku hanya bisa berdiam di sudut ruangan tengah ini yang biasanya ku buat bercanda dengan bunda. Sekarang, semua hanya tinggal kenangan. Dan kini, kembali aku sendiri. Sendiri dalam meneruskan perjuangan hidup yang pasti semakin banyak rintangannya. Aku hanya mempunyai ayah dan bunda, sekarang mereka semua kembali ke pangkuan Allah. air mataku seakan telah mengering. Tak mampu lagi aku menangis. Aku hanya ingin menata hati ini terlebih dahulu. Aku harus sadar, semua adalah ketentuan Sang Maha Benar. Aku harus kuat apapun yang terjadi.

Sopir mobil yang menabrak bunda mendekati aku. Beliau meminta maaf. Beliau bersedia menanggung semua konsekuensi akibat kelalaiannya. Aku melihat wajah beliau. Aku yakin beliau tidak sengaja. Toh kalau pun sengaja, itu semua sudah takdir. Mungkin Allah mempunyai rencana di balik ini semua. Allah pasti menyiapkan kejutan terindah di bagian hidupku nantinya setelah ini. Aku hanya tersenyum menatap beliau sambil berkata, “Semua sudah terjadi Pak. Ini semua sudah kehendak Allah. Tidak ada satu pun manusia yang mampu menghindar dari ajal ketika sudah datang menjemputnya.” Beliau meminta maaf kembali. Kemudian aku meminta izin untuk ke kamar. Aku hanya ingin menguatkan hati ini terlebih dahulu. Memang masalah yang aku hadapi terlalu rumit. Seakan satu-persatu nikmat yang Allah berikan terambil kembali. Tetapi aku harus sadar, tidak ada yang kekal. aku menguatkan diriku sendiri. Kemudian aku keluar kamar menyapa semua tamu yang ada. Semua memberiku semangat. Ya, terima kasih semua saudara muslimku. Aku bisa kok menjalani semua ini. Siang harinya, rumah kembali sepi. Hanya ada sekumpulan bapak-bapak di depan rumah yang sedang bercengkerama. Aku melihat bapak yang punya mobil penabrak bunda masih di situ. Beliau mendekatiku. Beliau memperkenalkan diri, namanya Pak Hidayat. Beliau mengajakku berbincang. Beliau menanyakan keluargaku. Aku hanya bisa menjawab kalau aku sendiri. Aku sebatang kara. Aku tidak mempunyai siapapun. Kembali beliau merasa bersalah. Beliau menawarkan menjadi orang tua asuh untukku, tapi aku menolaknya dengan halus. Aku ingin berjuang dalam hidupku. Tetapi beliau kembali membujukku. Beliau ingin diberi kesempatan untuk sedikit menghapus rasa bersalah beliau kepadaku. Tapi tetap aku menolak menjadi anak asuh beliau. Akhirnya beliau menerima keputusanku.

Malam harinya, aku kembali berpikir merencanakan kehidupanku setelah ini. Awalnya kehidupanku sungguh sempurna, mempunyai keluarga kecil yang sangat menyayangiku. Perlahan semua meninggalkanku. Berawal dari Okta, Fika, ayah, dan yang terakhir bunda. Kini kehidupanku sendiri. Tak ada manusia di dunia ini satu pun yang bersedia mendampingi kehidupanku sebagai sahabat, kawan, atau lainnya. Aku merasa menjadi manusia paling hina. Aku menatap diriku di depan cermin. Aku melihat sosok diriku yang lusuh tanpa semangat hidup. Sosok yang terbuang dari kehidupan persahabatan. Sosok yang terbuang dari kehidupan masyarakat banyak. Ketika aku mencoba memejamkan mata, kembali terlihat impian bundaku. Kala itu bunda bercerita bahwa beliau mempunyai impian terpendam, yaitu mengabdikan diri untuk pembangunan peradaban negeri melalui masyarakat pedalaman. Seketika aku merasakan ada yang berbisik, “Sabar sayang, semua ini adalah ujian hidup yang harus kamu jalani. Mungkin memang benar, saat ini kamu tidak mempunyai siapa-siapa. Tapi yakinlah, Allah tidak pernah meninggalkanmu sendiri. Allah lebih dekat dari nadi leher kamu. Allah selalu ada buatmu ketika kamu selalu mendekatiNya. Percayalah, keluarga kecilmu akan dipersatukan kembali dalam kehidupan yang kekal di tempat terindah nanti. Tersenyumlah. Kamu tak akan pernah tahu apa yang terjadi setelah ini. Jangan pernah terpaku pada kehidupan di tanah rantau ini. Pergilah. Berhijrahlah. Berpindah ke suatu tempat yang sangat membutuhkan manfaat kehadiranmu. Dengan kehadiranmu dibutuhkan, kamu akan merasakan indahnya dunia kembali.” Semangat hidup seakan menggelora kembali. Mungkin aku akan mewujudkan impian terpendam bunda. Yup, dengan mewujudkan itu semua, aku akan merasakan bunda selalu ada di sampingku.

Aku kembali bersemangat mencari informasi tentang pekerjaan di luar pulau Jawa. Kala itu, banyak lowongan PNS dibuka. Mataku langsung tertuju pada kolom pembukaan pendaftaran PNS di daerah Nusa Tenggara Barat. Entah kenapa kolom ini banyak menyita perhatianku. Kemudian aku memikirkannya dengan matang. Tak lupa aku memusyawarahkan dengan Allah melalui sujud panjangku dalan sholat istikharah. Selang beberapa hari setelah itu, keyakinan ini semakin mantap. Tak ragu aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah yang telah aku huni selama tujuh tahun terakhir ini. Rumah yang menyimpan berjuta kenangan indah. Tangis air mata dan derai tawa yang tercurah di rumah ini, tak akan pernah aku lupakan sepanjang hidupku. Aku menjual rumah ini, uang hasil penjualannya aku pakai untuk bertahan hidup di tanah NTB. Dalam perjalanan ke bandara, bang Ardi mengirim pesan singkat. Isinya berupa undangan pernikahan Fika. Alhamdulillah, akhirnya sahabatku ini menikah. Rasa syukur menghiasi relung dadaku. Apalagi setelah ku baca lagi, Fika menikah dengan Hafiz. Ya, akhirnya impian indah Fika tercapai. Alhamdulillah. Tapi, seakan dada ini sesak. Remuk redam hati ini setelah membaca pesan singkat dari bang Ardi. Semakin aku merasa bodoh dengan satu kata ini. Ketika aku samapi seperempat abad ini hanya pernah jatuh cinta satu kali, sekarang semua seakan salah. Aku menyesal merasakan cinta sebelum waktunya. Inilah hukuman Allah buatku yang telah menodai hatiku sendiri. Aku mengerti, cinta dan benci itu sangat tipis batasannya. Aku pun mengakui kalau aku mencintai Hafiz, hanya sebagai sosok kakak. Tapi tetap mungkin aku merasa cemburu. Sungguh, aku tak ingin memperkeruh suasana kembali. Biarkan aku yang mengalah. Aku pun pasti berbahagia melihat sahabatku meraih kebahagiaannya. Aku juga merasa senang ketika orang yang aku cintai menemukan kebahagiaannya. Orang yang aku cintai menggenapkan separuh agamanya, walau bukan dengan aku. Karena mungkin dia pantas mendapatkan yang lebih baik dari aku. Fika lebih baik dari semua sisi dibandingkan aku. Aku hanya bisa membalas pesan singkat bang Ardi dengan kalimat barokallahulaka wabaroka’alaika wajama’abainakuma fiikhoir, semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Amien....

Barokallahulaka wabaroka'alaika wajama'abainakuma fii khoir... Semoga menjadi keluarga SAMARA
Air mata kembali menetes. Semakin ku yakin dengan keputusan yang aku buat. Setibanya di bandara, aku langsung menuju tempat pemberangkatan dan masuk ke pesawat yang kan membawaku pergi jauh dari orang-orang yang aku cintai. Ketika duduk di bangku pesawat, aku tidak hanya mematikan hapeku. Aku membuka kartunya dan aku patahkan hingga tak bisa digunakan lagi. Semua kehidupanku di ranah Jawa telah berakhir. Semua orang-orang yang ku sayangi telah menemukan kebahagiaannya. Aku turut senang. Walau aku yang harus mengalah. Walau aku harus menjadi lilin. Lilin yang menerangi sekitarnya tetapi melelehkan diri sendiri. Aku ikhlas melakukan ini semua. Aku yakin mereka mendapatkan kebahagiaan selamanya. Dalam perjalanan aku mencoba menguatkan hatiku. Aku bertekad melupakan semua dan membuka lembaran baru dalam kehidupanku di ranah yang baru kelak.

Tak terasa aku telah tiba di NTB. Aku harus memulai kehidupan baruku dengan semangat baru. Aku siap berjuang untuk kehidupan yang lebih baik. Setelah aku mendapatkan tempat menginap, aku beristirahat sejenak. Menghimpun kekuatan untuk pertempuran besok menghadapi ujian CPNS. Alhamdulillah, segalanya dipermudah oleh Allah. Aku lolos menjadi PNS di ranah perjuanganku yang baru ini. Aku siap mengabdikan diriku di sini. Walau akhirnya aku menjadi sahabat yang terbuang di ranah perjuanganku yang dulu, di sini aku akan berusaha menjadi pelita buat masyarakat asli NTB. Aku akan menjadi bagian dari mereka untuk berjuang bersama membangun Indonesia yang lebih maju dimulai dari ranah ini. Semangat!!!!


Sahabat itu memang kekayaan yang sesungguhnya
Hingga kita harus rela mengorbankan apapun demi kebahagiaannya
Walau akhirnya kita sendiri yang akan hancur
Tapi satu hal yang harus terpatri di hati
Pengorbanan apapun untuk sahabatmu tak pernah sia-sia
Allah Maha Melihat
Semua akan mendapatkan balasan yang setara
Hingga akhirnya kita akan merasakan
Pengorbanan yang berbuah manis dan lezat
Meski harus menjadi seorang sahabat yang terbuang
^_^

Jangan pernah menyia-nyiakan sahabatmu sekarang
karena dialah kekayaanmu yang sesungguhnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran