Sahabat yang Terbuang part 6

Beberapa hari kemudian, Fika juga telah dinyatakan lulus. Betapa gembiranya kami. Semua beban seakan sirna. Kemudian kami pun segera mengerjakan revisi dan semua kelengkapan wisuda. Ketika hari wisuda itu tiba, semua orang mempunyai wajah yang bersinar. Wajah penuh kesyukuran atas satu nikmat yang telah Allah beri. Begitu bangganya diri ini mampu membuat ayah dan bunda tersenyum melihat keberhasilan anak tunggalnya ini. Orang tua terhebat yang pernah ada di dunia. Ayah, seorang lelaki yang tangguh dan perkasa. Tak kenal waktu selalu berusaha untuk mencari nafkah yang akan digunakan menghidupi aku dan bunda. Apapun akan ayah lakukan ketika memang sudah jelas pekerjaan itu halal. Ayah adalah lelaki terhebat yang pernah ku temui. Tak pernah sekalipun beliau memukul bunda. Lelaki yang sangat lembut. Sosok yang sangat luar biasa. Memang benar, dibalik lelaki hebat selalu ada sosok wanita kuat dan istimewa. Dialah bunda. Seseorang yang tak pernah memikirkan dirinya terlebih dahulu. Selalu mementingkan kebutuhanku dan ayah. Seorang wanita yang tak pernah mengeluh. Luar biasa. Semua nikmat ini sangat ku syukuri. Sungguh benar firman Allah yang menyatakan bahwa nikmat manakah yang kau dustakan? Sebuah ayat yang sangat menampar ketika kita tidak dapat mensyukuri apa yang kita miliki. Ketika kita merasa iri ketika orang lain mendapatkan yang diinginkannya sedangkan kita tidak. Bukan berarti kita tidak akan mendapatkannya kawan, mungkin belum. Tapi bisa juga tidak. Allah lebih tahu diri ini. Keinginan memang tidak selalu sejalan dengan kebutuhan. Cukuplah mensyukuri apa yang kamu miliki saat ini, karena Allah lebih tahu mana yang terbaik buat kita. 
Kenangan terindah sekaligus terberat karena melepas status mahasiswa

Selepas wisuda, aku dan Fika berjuang bersama mencari pekerjaan. Kami pun mengisi waktu dengan melamar pekerjaan ke berbagai tempat. Ternyata Allah Maha Penyayang. Dua bulan kemudian, kami berdua menjadi karyawan di sebuah perusahaan swasta ternama di daerah ini. Alhamdulillah. Dunia kerja memang tak semudah yang dibayangkan. Banyak tekanan dan penyesuaian yang harus dijalani. Tetapi karena kami saling menguatkan, semua bisa dilalui dengan baik. Hingga pada suatu hari ketika hari milad Fika yang ke 23, dia menangis tersendu di dalam kamar. Aku pun bingung apa yang terjadi. Seingatku, tadi pagi keluarga Fika telah mengucapkan dan mendoakan Fika di hari miladnya ini. Kembali ku berpikir keras alasan Fika menangis. Dan akhirnya aku melihat dinding tempat Fika menempelkan peta hidupnya yang telah dibuatnya setahun yang lalu. Ternyata target fika di umur 22 tahun adalah menikah. Sedangkan sampai umur Fika yang sekarang sudah mencapai 23 tahun, Fika belum menikah. Mungkin karena ini kah? Atau ada alasan lain? Aku merasa bukan sahabat yang baik. Sudah bersama selama lima tahun, belum mengerti juga aku dengan sifat sahabatku ini. Khususnya alasan kenapa Fika sering menangis. Aku pun orangnya sering menangis, tapi dengan alasan pasti. Aku pun orangnya sangat sensitif. Ah, sudahlah. Air mata memang mencemirkan berjuta ekspresi.
Perlahan aku mendekati Fika. Ku panggil sahabatku ini dengan lembut. Dia pun langsung memelukku erat. Aku semakin bingung. Mungkin, Fika hanya membutuhkan bahuku untuk bersandar beberapa saat. Ya, hanya ini yang bisa ku lakukan untuk sahabatku ini. Perlahan ketika melepas pelukannya, dia mulai bercerita. Ternyata tebakanku benar. Fika sudah sangat ingin menikah. Niat yang mulia. Dia pun kembali bercerita tentang Hafiz. Kembali ku memutar ingatan tentang Hafiz, yang beberapa tahun lalu pernah diceritakan Fika. Hafiz itu dikenalkan oleh temannya Fika saat SMA. Waktu itu timbullah benih cinta hanya dalam waktu 3 bulan. Fiuh, kembali aku harus berhadapan dengan satu permasalahan terumit sedunia ini. Fika menceritakan bahwa dia sudah sangat ingin mengutarakan perasaannya kepada Hafiz, tapi dia merasa malu. Fika meminta saran kepadaku. Kebingungan aku mencari jawaban yang tepat. Karena aku tidak mengerti pasti apa yang sebaiknya dilakukan sahabatku ini. Setelah berpikir, akhirnya aku mengatakan bahwa ketika memang Fika mengutarakan perasaannya kepada Hafiz, jangan berniat untuk berpacaran. Meski aku tak mengerti masalah yang satu ini, aku sangat mengerti bahwa Islam melarang hubungan itu. Kenapa dilarang? Sudah jelas kawan. Terlalu banyak kerugian yang didapatkan dibandingkan dengan keuntungannya. Apalagi ketika berduaan, setan sudah pasti menjadi pihak ketiga dengan bermacam-macam wujudnya. Ketika seseorang memegang tangan pacarnya, hanya dosa yang kan didapatkan. Begitu juga ketika saling bertelepon, dosa juga. Saling memberi semangat, pasti hanya ketika berpacaran saja. Ketika putus, banyak diantara kalian yang saling menghina. Saling tolong menolong, hanya bersifat duniawi belaka. Tetapi coba bandingkan dengan berpacaran yang halal. Tahukah engkau kawan bagaimana bentuk pacaran yang halal itu? Ya, ketika memegang tangan pacarnya, dihitung pahala oleh Allah. Ketika membelainya, Allah pun tersenyum. Ketika sang wanita menunggu kepulangannya hingga larut, pintu surga terbuka lebar. Ketika saling memberikan semangat, semangat itu akan mempunyai kekuatan sepuluh kali lipat. Ketika sang lelaki pulang dengan segela kepenatannya di luar sana, senyum sang wanita dapat mengobati segala kepenatan itu. Apalagi ketika tangannya memijit, alam pun ikut mendoakan. Betapa dahsyatnya pacaran halal ini kawan, pacaran yang hanya ada ketika dua insan telah mengikat janji setia dalam sebuah ikatan suci yang mulia. Ya, melalui perjanjian besar, yang sering kita sebut dengan pernikahan.
Ingin merasakan pacaran bergelimang barokah dan pahala
Fika pun menjawab. Dia mengerti Islam melarang pacaran karena banyak kerugiannya, apalagi itu juga mengundang kecemburuan Allah. Tetapi yang Fika bingungkan, bagaimana cara dia mengungkapkan itu ke Hafiz. Aku pun menggeleng tanda aku juga tak mengerti caranya. Akhirnya kami sepakati untuk berpikir dahulu semalaman. Alhamdulillah, Fika bisa kembali tersenyum. Kami pun bersiap-siap untuk tidur. Tapi, aku tak bisa tidur. Berulang kali aku memejamkan mata ini, selalu terbangun kembali. Aku harus bisa menemukan solusi atas permasalahan Fika. Tiba-tiba hapeku berbunyi, pertanda ada pesan singkat yang masuk. Pesan itu dari kakak. Aku kaget tak percaya, padahal beberapa tahun terakhir ini kakak jarang menghubungiku. Ada apa malam-malam begini ya. Ku buka pesan singkat dari kakak. Pesan itu bertuliskan tentang nikmatnya berbuka setelah menjalani puasa yang panjang. Fiuh, malam-malam begini aku kembali harus berpikir keras mengartikan maksud pesan ini. Ketika aku bertanya pada kakak, jawabnya pun tak ku mengerti. Kakak menjawab bahwa berbuka di saat yang tepat itu sangat diharapkannya, karena hingga kini dia belum berbuka. Astaghfirullah, rasanya malam ini benar-benar aneh. Otakku diperas memikirkan masalah yang sulit ku pahami. Aku pun berkata jujur kalau aku tak mengerti maksudnya. Kakak menjawab, “Adek terlalu lugu atau memang lugu sih?” Aku menjawab, “Aku memang benar-benar tak mengerti.” Kembali kakak membalas, “Ehm, jangan marah ya dek. Maksudnya, kakak sekarang sudah berusia 28 tahun, tetapi kakak belum menikah. Dengan kata lain, kakak belum berbuka. Kaka masih berpuasa.” Akhirnya aku pun mengerti. Tetapi, fiuh. Kenapa malam ini temanya pernikahan semua. Aku langsung menanyakan tentang masalah yang dihadapi Fika. Kakak menjawab, minta tolong saudara lelaki saja. Tersungging senyuman di bibirku. Aku pun berterima kasih kepada kakak atas jawabannya. Sekali lagi, kakak telah membantuku. Kakak selalu membantuku di saat aku benar-benar tak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi. Kemudian kakak meminta maaf karena beberapa tahun terakhir tak memberi kabar. Kakak kemarin mengambil S3 di negeri sakura, sehingga harus fokus ke kuliahnya agar segera bisa mengabdi kembali ke tanah air. Aku hanya bisa mengucapkan selamat atas keberhasilannya meraih gelar ketiganya. Sudah terlalu larut, aku pun berpamitan kepada kakak. Balasannya, kakak mengingatkan aku agar tak lupa untuk sholat malam. Setelah itu, kembali mata ini tak mampu terpejam lama. Padahal jawaban masalah Fika sudah didapatkan. Ada apa lagi kira-kira. Tiba-tiba pikiranku tertuju pada kakak. Fiuh. Apa sebenarnya yang terjadi.

Kakak. Seseorang yang selalu membantuku di saat-saat tak terduga. Di saat orang-orang di sekitarku tak mampu mengulurkan tangannya untukku. Aku mengibaratkan kakak adalah seseorang yang dikirimkan Allah kepadaku. Terima kasih Allah atas semua pertolonganMu melalui kakak yang aku pun tak tahu namanya. Padahal awalnya hanya salah sambung, tetapi berlanjut pada hubungan yang sangat menguntungkan aku. Tersenyum ku sendiri dalam hening malam ini. Bintang yang indah berkelip bergantian seakan memamerkan keindahannya. Sang rembulan pun ikut tersenyum dengan lembutnya. Alam pun serasa seperti ikut merasakan kebahagiaan yang sedang aku rasakan malam ini. Dari jendela kamar ini, aku melihat alam ini semakin indah dengan pesonanya masing-masing dari Sang Maha Pesona. Desiran angin yang menerpa seakan ingin menyapaku. Subhanallah. Malam ini terlalu indah untuk dilewatkan. Terimakasih ya Allah atas semua nikmat yang Kau beri. Maka nikmatKu manakah yang kamu dustakan?

Pagi harinya, aku memberi saran kepada Fika untuk meminta bantuan kepada abangnya untuk menyampaikan maksud kepada Hafiz. Fika langsung menelepon abangnya. Aku menyiapkan sarapan sebelum kami berangkat kerja. Dalam perjalanan menuju kantor, kembali satu pesan singkat masuk ke hapeku. Kembali dari kakak, tanpa sadar aku membukanya dengan sebuah senyuman yang dapat menyemangatiku di pagi hari ini. Sampai Fika bertanya kenapa aku tersenyum setelah melihat hape. Aku pun bilang, aku tidak tersenyum. Fika kembali menggodaku, dia bertanya apakah akhirnya aku merasakan sebuah perasaan yang selama ini belum pernah aku merasakannya. Tahukah engkau kawan, apa perasaan itu? Ya, cinta kepada lawan jenis. Hingga umurku menginjak 23 tahun ini, aku sama sekali belum pernah merasakannya. Hingga aku pun beranggapan aku orang terbodoh dalam satu permasalahan ini. Terkejut aku mendengar pertanyaan Fika. Apa memang aku benar-benar jatuh cinta? Pada kakak? Seseorang yang selama ini tak pernah aku tahu siapa dia. Seseorang yang selama ini aku pun tak tahu siapa namanya. Walaupun dia bagai malaikat dalam hidupku beberapa tahun terakhir. Tapi, kenapa harus pada kakak? Fiuh... pertanyaan retorika sepertinya. Plak... aku pun terbangun dalam lamunanku ketika Fika menepuk bahuku dengan lumayan keras. Fika bertanya aku mendapat sms dari siapa. aku kembali berkelit, walau akhirnya aku menceritakan kepada Fika siapa kakak ini. Karena memang aku tak ingin menutupi apapun pada sahabatku ini. Hikmah dari persahabatanku dulu dengan Okta, harus benar-benar aku pahami. Ketika aku selesai bercerita, Fika memberi ucapan selamat kepadaku, “Selamat ya Farah, akhirnya kamu merasakan anugerah terindah dari Allah. walau mungkin dia adalah pengagum rahasiamu.” Aku hanya bisa tersenyum kecut karena tak mengerti betul apa yang ku alami.

Beberapa hari kemudian, aku selalu memikirkan kakak. Aku selalu menunggu pesan darinya. Selalu menunggu kemunculan namanya di hapeku. Setelah aku kembali membaca tumpukan buku yang ku beli beberapa tahun lalu, aku baru menyadari. Memang benar yang dikatakan Fika. Aku jatuh cinta. Ya, sebuah perasaan yang selama ini aku merasa bodoh. Ternyata aku merasakannya juga. Tapi, raut sesal jelas terpampang di wajahku. Aku sangat menyesal. Kenapa aku merasakannya pada orang yang belum halal bagiku? Kenapa harus kakak? Padahal aku sangat ingin ketika aku merasakan ini, itu pada orang yang tepat, yaitu pada dia. Dia yang membimbingku menuju ridho Allah. Dia yang selalu mengingatkanku ketika aku salah. Dia yang selalu mengerti apa mauku. Dia yang tak pernah menyakitiku. Dia yang selalu menjagaku. Dia yang menjadi pemimpinku. Dia yang selalu ku sebut namanya dalam tiap doaku. Dia yang selalu aku bayangkan wajahnya ketika sedang berjihad mencari nafkah tuk menghidupiku. Dia yang selalu menemaniku di saat apapun. Dengan keberadaanku, mampu membuatnya menjadi sosok yang sempurna. Dengan senyumku, dapat menghapus kepenatannya di luar rumah. Dengan doaku, dapat menyejukkannya setiap kali kefuturan menghampirinya. Dialah yang menjadi penolongku di akhirat nanti, karena dengan keridhoannya aku dapat bertemu dengan Rabbku. Ya, dialah suamiku. Aku tak membutuhkan lelaki yang sempurna, karena aku yakin mampu membuatnya sempurna dengan keberadaanku. Aku pun tak membutuhkan lelaki yang kaya, karena aku yakin Allah Maha Kaya, hanya Dia yang dapat mencukupi kebutuhanku. Aku hanya membutuhkan seorang laki-laki sholeh yang dapat meluruskan tulang rusukku yang bengkok. Meluruskan tidak dengan kekerasan, tidak pula dengan kelembutan yang melemahkan. Karena kekerasan akan dapat mematahkan dan memecahkan. Dengan kelembutan yang melemahkan akan membuat aku pasrah dan tak berdaya. Tetapi sosok laki-laki yang meluruskan tulang rusukku dengan kesabaran yang tak berbatas. Aku pun ikhlas ketika aku harus menjadi yang kedua dalam kehidupannya, karena yang pertama adalah Islam. Lelaki yang menempatkan Allah, Rasulullah, dan sahabat di urutan pertama hatinya. Lelaki yang selalu mengutamakan kepentingan umat. Walau nantinya sedikit waktu yang aku dapatkan tuk berduaan dengannya, aku ikhlas. Karena insya Allah suatu saat nanti kebersamaan kami kekal dalam jannahNya dengan guyuran ridhoNya yang tak pernah habis. Amien.....

terlihat banyak sekaliii...
hehe....
maap kalo membosankan
^_0

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran