Sahabat yang Terbuang part 4

Atas permintaan sang ibunda, aku menginap di rumah Okta. Tetapi Fika harus kembali ke kota karena ada amanah yang tak bisa ditinggalkan. Aku mengantar Fika kembali ke terminal, kemudian aku kembali lagi ke rumah Okta. Aku beristirahat di kamar Okta, sahabat terbaikku yang pergi dalam keadaan terbaik. Kamarnya begitu rapi dan indah. Banyak kata-kata semangat untuk motivasi di tempelan dinding-dinding kamarnya. Rentetan bukunya pun berbaris indah. Tumpukan bajunya rapi dan teratur. Kamar ini begitu nyaman. Ketika aku melihat pada salah satu sudut kamar, ada sebuah buku semacam diary yang berwarna biru terletak di atas meja. Biru, aku tahu, itulah warna favorit sahabatku ini. Dia selalu berusaha mendapatkan apapun yang berwarna biru. Sampai mayoritas bajunya berwarna biru, dari biru laut sampai biru tua, semua dia pasti punya. Senyum ini kembali merekah mengingat kenangan-kenangan bersamanya. Kenangan yang tak kan pernah terulang kembali, tetapi tak kan pernah terlupakan. Berjalan ku mendekati diary biru itu. Pelan ku pegang dan ku lihat, kembali tetesan bening mengalir tanpa ku sadari. Ku dekap erat buku itu sambil mengingat mata teduhnya. Aku ingat saat itu, bahkan menyentuhnya pun aku tidak diperbolehkan. Okta pasti sangat marah ketika aku ataupun Fika mendekati buku ini. Tapi kini, tak ada yang memarahiku. Tak ada yang menggelitikku agar melepaskan buku ini. Ya Allah, hamba benar-benar memohon, berikan yang terbaik buat sahabatku.


Perlahan ku buka diary biru sahabatku. Ku baca pelan sambil berbaring karena merasa sangat lelah. Ternyata Okta sangat rajin menulis kejadian dalam hidupnya selama setahun terakhir kebersamaan kami. Lembar demi lembar mengingatkan aku pada kebersamaan hangat setahun kemarin. Okta begitu detail menuliskannya. Alhamdulillah, sudah sampai beberapa lembar terakhir diary biru ini, tak satupun Okta mengalami masalah yang cukup pelik. Tapi di lembar terakhir aku pun terkejut. Terbangun ku dengan segera dari tempat tidur. Kalimat yang dituliskannya sungguh membuatku terperangah. Karena dia mengakui sedang jatuh cinta dengan seseorang, tetapi si “dia” mencintai orang lain. Dan ketika semakin ku baca hingga akhir, dia sebenarnya ingin pergi ke pulau seberang karena tidak sanggup menerima kenyataan bahwa si “dia” ternyata mencintai sahabatnya sendiri. Refleks pikiran semakin bertanya, siapa sebenarnya si “dia” dan siapa sebenarnya sahabatnya. Dan ketika ku membuka lembaran akhir diary biru ini, aku semakin terkejut dan terbelalak. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Tak mampu ku berkata lagi.Tak mampu ku membaca hingga akhir. Bruk.... Diary biru itu jatuh ke lantai. Aku semakin linglung dan tak mengerti. Sesuatu yang tak pernah ku pikirkan selama ini. Sesuatu yang ternyata telah mengantarkan sahabatku menjemput ajalnya. Tak peluh ku mencoba beristighfar. Memohon ampun kepada Sang Penguasa Alam Raya. Ya Rabb, maafkan hamba...

Ternyata Okta pergi karena sahabatnya sendiri. Kala itu, dia sudah bisa mencintai orang lain kembali setelah disakiti begitu dahsyatnya oleh seseorang yang tidak berhati dulu, dia sudah bisa mencintai orang lain. Ketika akan liburan semester empat kemarin, Okta berniat menyatakan perasaannya pada seseorang yang disebut si “dia” dalam diary biru ini. Menyatakan perasaannya lewat saudara lelakinya yang bernama Armand, seorang mahasiswa dua tingkat dibawah kami. Dengan maksud Okta berkeinginan menikah dengan si “dia” agar menjadi sosok wanita yang lebih hebat lagi. Okta berangan ingin menjadi sesosok Khadijah di era dunia saat ini. Tetapi ternyata jawaban si “dia” tidak dapat mewujudkan keinginan luhur Okta. Si “dia” menjawab tak ada keinginan sama sekali menikah dengan Okta. Bahkan lebih membuat hati Okta hancur lagi ketika si “dia” berterus terang sudah ada niatan mengkhitbah orang lain, yang tak lain adalah sahabatnya sendiri yang bernama Farah Anindya Ramadhani. Nama itu adalah sosok sahabat yang selalu dilindunginya. Sosok sahabat tempatnya mencurahkan kasih sayang. Tetapi ternyata ada rahasia yang tersimpan hingga baru terkuak sekarang. Farah, betapa kejamnya yang dilakukannya. Semakin ku mengenal siapa Farah yang sebenarnya. Tetapi, apakah memang Farah seperti itu. Semakin ku memikirkannya di malam yang pekat ini sambil tak pernah lelah berucap istighfar. Apakah memang Farah tak layak menjadi sahabat tebaik buat siapapun atau... Entahlah. Semua terasa berat.


Tahukah kalian siapa Farah Anindya Ramadhani? Seseorang yang sangat ku kenal. Walau kini mulai meragu. Ya, Farah adalah aku. Aku bernama Farah Anindya Ramadhani. Semakin ku tak mengerti makna cinta. Semakin ku dibuat bodoh oleh satu kata ini. Aku tak mampu memaknai satu kata yang cukup membuat rumit kehidupanku ini. Semalam sebelum beranjak tidur, aku selalu berusaha memaknai satu kata ini. Hingga aku tertidur lelap pun, makna cinta yang sebenarnya tak pernah ku ketahui. Hingga malam kembali ke peraduannya, aku pun semakin nyenyak dalam dunia mimpi yang membuai.

Alarmku berbunyi tepat jam tiga dini hari. Lagu Waka-Wakanya Shakira membahana keras memekikkan telingaku. Perlahan ku buka mataku menatap kembali dunia yang fana. Terbangun ku dari tidurku. Berat langkah ini terayun ke kamar mandi tuk segera mengambil air wudlu. Dini hari ini, ingin ku mencurahkan semua apa yang ku rasakan pada Sang Maha Penguasa. Ingin ku pasrahkan semua masalah yang ku hadapi pada Sang Maha Cinta. Sholat tahajud pun ku lakukan dengan khusyuk. Kemudian ditutup dengan sholat witir. Tak lupa ku panjatkan doa untuk sahabatku. Sambil menunggu waktu subuh, ku habiskan waktuku berduaan dengan mesra dengan Sang Khalik. Ku ceritakan semua permasalahan hidupku, karena hanya Allah yang dapat menjadi sandaran hidupku. Tepat ketika adzan subuh berkumandang, ibunda Okta mengajakku sholat berjama’ah di masjid dekat rumah. Betapa indahnya pagi ini. Betapa tenangnya jiwa ini. Meski sebenarnya banyak pertanyaan dalam benak yang mengusik.

bersambung.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran