Sahabat yang Terbuang part 3

Selanjutnya, hari-hari ku lalui dengan bahagia. Masalah demi masalah dapat terselesaikan dengan baik. Karena kami yakin bahwa Allah memberi masalah selalu lengkap dengan solusinya. Apalagi dengan melalui kehidupan ini dengan orang terkasih. Mempunyai dua orang sahabat yang sangat aku cinta karena Allah. Merakalah orang yang selalu mengingatkan aku ketika aku berbuat salah. Merekalah orang yang selalu membantuku menjadi insan yang lebih baik. Mereka yang selalu ada denganku di saat senang maupun sedih. Karena seseorang yang dapat dipanggil sahabat adalah orang yang selalu berada di samping kita apapun yang terjadi, terlebih lagi ketika kita sedang mengalami kesusahan. Ketika seseorang itu hanya menemani ketika kita mendapatkan kebahagiaan, bisa jadi dia adalah seorang musuh dalam selimut. Berbanggalah ketika kalian memiliki sahabat dalam arti yang sebenarnya. Karena sahabat adalah kekayaan yang sesungguhnya.

Tiada terasa satu tahun kebersamaan kami. Kebersamaan yang tak kan tergantikan sampai kapanpun. Kebersamaan yang kami namakan ukhuwah Islamiyah atau persaudaraan atas dasar Islam. Persaudaraan yang terikat atas nama Allah. Persaudaraan yang hanya berorientasi pada hukum-hukum Allah. Persaudaraan yang sungguh tak dapat digantikan dengan apapun. Bahkan persaudaraan yang tak bisa dibeli dengan uang. Sungguh indah persaudaraan ini. Sampai suatu hari, aku dan Fika mendapatkan sepucuk surat dari Okta. Surat itu datang tepat sepuluh hari sebelum kami kembali aktif dalam perkuliahan. Dalam surat itu, Okta berkata bahwa dia tidak akan meneruskan kuliahnya karena terkendala biaya. Singkat dan padat. Tapi sungguh berita ini bagaikan petir yang menyambar tanpa toleransi. Bagaikan tsunami yang mampu meluluhlantakkan segalanya. Bagaikan gempa bumi yang menghancurkan hingga ke bagian terkecil sekali pun. Kami pun hanya bisa menangis dan bertanya-tanya kenapa Okta tidak pernah bercerita tentang masalahnya. Apakah memang selama ini Okta menyimpan rahasia di belakang kami. Apakah mungkin Okta ada masalah lain. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang ada di benak ini. Aku dan Fika berunding apa yang seharusnya kami lakukan. Akhirnya kami memutuskan langsung menemui Okta di rumahnya. kami pun langsung bersiap-siap menuju sebuah kota di ujung Jawa Timur yang terkenal dengan keindahan alamnya. Walau jarak terbilang jauh, demi sahabat kami tak berpikir berulang kali. Kami harus menemui sahabat kami.

Dalam perjalanan ke rumah Okta, kami hanya bisa menangis. Pemandangan indah yang disuguhkan oleh alam dengan Sang Pencipta yang Maha Dahsyat tak mampu menghapus air mata ini. Terlebih aku. Masih teringat janji yang terpatri dalam hatiku kala itu, bahwa aku tak akan pernah meninggalkan Okta sendiri. Tetesan bening ini pun menembus hingga relung hati terdalam. Tak bisa lagi air mata ini terbendung. Tak mampu lagi ku berkata. Hanya air mata yang mewakili berjuta perasaan gejolak dalam jiwa ini. Terlebih janji ini belum tertunaikan. Mengingat janji ini, semakin menandakan bahwa aku bukan sahabat yang baik untuk Okta. Padahal selama ini Okta selalu mendengarkan ketika aku sedang bercerita tentang permasalahan hidupku. Oktalah orang pertama yang selalu mengetahui ketika aku sedang ada masalah. Tapi kini, dia akan meninggalkan aku. Lagi.

Sesampainya kami di rumah Okta, kami pun semakin terhenyak dan seakan bumi ini berputar begitu cepatnya. Banyak orang di rumah Okta. Semua menunduk dan menangis. Semua diam tak berkata apapun. Kami pun semakin penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada Okta. Kami pun berlari mendekati rumah Okta. Fika sama sekali tak bersuara. Hanya beribu pertanyaan di benak kami yang kami segera ingin mengetahui jawabannya. Ketika memasuki halaman rumah Okta, terpasang bendera putih. Air mata kami pun semakin deras mengalir. Sekarang satu pertanyaan kami, siapa yang meninggal. Kami pun terus berlari memasuki rumah Okta. Tapi apa yang kami dapatkan? Kami hanya melihat orang-orang menunduk lesu sambil tak pernah henti melafadzkan doa. Tapi kami tak melihat sesosok wajah sahabat kami. Semakin ku mengitarkan pandangan ke seluruh ruangan, semakin tak ku kenal wajah-wajah yang ada di sana. Bahkan jenazah pun sudah tak ada. Siapa sebenarnya yang meninggal? Semakin banyak pertanyaan berkecamuk membuat kepala ini terasa berat dan akhirnya sekeliling seakan gelap.

Ketika aku dapat membuka mataku kembali, yang ku cari sesosok sahabat yang ku rindukan. Ternyata aku tak mendapatkan wajah teduh itu. Semua orang di sekitarku membantuku untuk bangun. Kemudian datanglah Fika, dia berkata bahwa yang meninggal adalah sahabat terbaikku. Seseorang yang ku rindukan senyumannya. Seseorang yang ku rindukan tatapan matanya yang sangat teduh. Seseorang yang meminta bantuanku untuk menjaganya. Seseorang yang selama ini selalu disampingku kapan pun aku membutuhkannya. Ya, Okta telah pergi untuk selamanya. Okta pergi dengan berjuta kenangan kebersamaan yang tak pernah menggores hati ataupun menebar perih. Hanya kenangan dengan berjuta canda dan tawa yang ia ciptakan. Ternyata Allah lebih menyayangi Okta dibandingkan aku, yang mengaku-ngaku sebagai sahabatnya. Tetesan bening kembali mengalir dengan derasnya membasahi pipi. Ku kuatkan diri tuk melangkah menemui orang tua Okta. Beliau pun langsung memeluk kami. Fika pun semakin tak kuat menahan air matanya. Kami hanya bisa menemani sang ibunda dari sahabat kami tanpa berkata apapun. Aku hanya berharap semoga kehadiran kami di sini membantu keluarga sahabatku. Kenangan indah setahun kemarin pun menari-nari dalam benakku.

Setelah satu persatu para tamu pulang, sang ibunda meminta kami mengantarnya ke kamar beliau. Beliau bercerita bahwa Okta meninggal karena kecelakaan kapal laut. Saat itu Okta berencana pergi ke pulau seberang untuk bekerja membantu perekonomian keluarga, tapi ternyata semua berakhir lain. Memang manusia hanya bisa berencana, hanya Allah Sang Maha Penentu Segalanya. Pasti berat ditinggalkan oleh sahabat terkasih yang pernah hadir dalam hidup ini, tapi aku ikhlas. Karena aku yakin, walau Okta telah berpulang ke rumah Allah, dia masih selalu menyayangiku sampai kapanpun. Dia selalu ada buatku. Dia selalu ada di sisiku, walau kini agak sedikit berbeda. Aku ikhlas karena Allah lebih menyayangi sahabatku. Allah pun memanggil sahabatku dalam keadaan khusnul khotimah, keadaan yang terbaik. Karena kala itu Okta sedang berada di puncak keimanannya. Karenanya, aku ikhlas melepasmu sahabat terbaikku. Semoga Allah memberikan rumah terindah di surga untukmu. Amien...

sabarrrrr....
:)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran