Sahabat yang Terbuang Part 2
Ketika menempuh semester tiga, aku dikejutkan dengan berita seorang teman yang bernama Okta. Desas-desus menceritakan bahwa Okta mencoba bunuh diri dengan menyayat nadinya menggunakan pisau. Aku pun kebingungan tak percaya. Seorang mahasiswa bisa melakukan perbuatan bodoh dengan melukai dirinya sendiri. Bukankah seorang mahasiswa harusnya merupakan intelektual muda yang harus mengharumkan nama bangsa? Dan ternyata setelah ditelusuri lebih lanjut, alasan melukai diri sendiri hanya karena diputus oleh pacarnya. Tak bisa aku berkata apapun. Mulutku seakan terkunci rapat-rapat. Seakan pikiranku melayang. Sungguh aku berharap ini hanya mimpi. Tetapi ternyata ituleh kenyataan yang sebenarnya. Tak perlu aku bercerita apa yang aku rasakan lagi, satu hal yang pasti, aku pun semakin tidak mengerti makna cinta.
Beberapa hari kemudian, barulah aku mendekati Okta. Mencoba berbicara dari hati ke hati tentang masalah yang dialaminya. Tetapi dia menolak bercerita, dia hanya memohon bantuanku untuk membuat dia jadi lebih baik. Teman-teman yang lain pun member saran agar aku memberikan dia sebuah bacaan yang dapat membuatnya bangkit dan tidak bersedih. Aku pun kebingungan, karena memang aku pun tak tahu harus member dia bacaan apa. Di saat kebingungan itu, tiba-tiba hapeku bergetar. Ada sms dari kakak berisi tentang nasehat bahwa hanya mengenal Allah hati menjadi tenang, La Takhof wa La Tahzan. Iseng aku pun membalasnya untuk mengetahui buku apa yang bisa menenangkan hati. Dia pun tak membalas. Sungguh aku kecewa. Tiada yang mampu membantuku memecahkan masalah Okta. Fika pun saat itu hanya mendukung dan selalu menemaniku. Meski itu cukup buatku, tapi aku juga bukan orang yang munafik. Aku butuh menerima usulan.
Tiga hari berlalu, aku pun belum menemukan buku yang pas. Okta pun hanya merenung di rumah sakit tak ingin berbicara sedikit pun. Sampai akhirnya ketika aku pulang dari rumah sakit, ada bingkisan yang dititipkan pada ibu kos buat aku, tanpa nama pengirim. Ketika aku buka, ternyata buku La Tahzan yang masih baru dan sepucuk surat yang mengatakan bahwa mungkin inilah buku yang kamu cari selama ini, semoga bermanfaat. Aku pun kebingungan, siapakah pengirimnya. Mungkin, inilah jawaban dari Allah. Bersegeralah aku berikan buku itu kepada Okta.
Dalam perjalanan kembali menuju rumah sakit, aku berpikir keras siapa gerangan yang mengirimkan buku ini untukku. Jelas sekali dia pasti mengerti apa yang aku bingungkan. Pikiranku pun dipenuhi beberapa nama yang memungkinkan memberikan buku ini. Semua nama sahabat dan nama teman seperjuangan berterbangan di kepalaku membuat aku pening. Sampai akhirnya ada pesan singkat masuk di hapeku. Dari kakak, yakinlah bahwa kamu tidak pernah sendiri. Hmmm… memang aku tak pernah sendiri. Ada sahabat yang selalu menemaniku dan tentunya Allah Sang Penciptaku. Tak terbesit sedikitpun pikiran yang mengatakan bahwa kakak yang member buku ini.
Tak terasa sampailah aku di rumah sakit. Tempat yang sangat membuat aku bersyukur, tak keluh mulut ini memuji dan selalu bersyukur atas nikmat kesehatan yang telah diberi Sang Maha Kaya. Aku menengok ke kanan, terbaring seseorang tak berdaya sedang melakukan hemodialisis, kembali berpikir berapa rupiah yang dihabiskan orang itu untuk berusaha menyembuhkan penyakitnya. Apa beliau benar-benar mampu membayar semua biaya rumah sakit yang terlalu tinggi tak terjangkau itu? Apa keluarganya di rumah sudah makan? Dan masih banyak pikiran yang membuat aku semakin bersyukur dan harus selalu bersyukur. Ketika menengok ke kiri, seorang pasien diharuskan memakai selang oksigen dan banyak selang lainnya namun masih tetap tersenyum tegar. Terpaku ku melihatnya. Terdiam. Menatap dan mencoba merasakan bagaimana ketika aku yang berbaring di tempat itu dengan banyak selang menempel di tubuh. Belum tentu aku sekuat beliau. Belum tentu aku bisa tersenyum tegar. Tak selang berapa lama kemudian, orang itu sholat dengan khusyu’. Mata ini tetap menatap tak berkedip. Dan, perlahan tetesan bening mengalir dari mataku. Ternyata dengan segala ujian yang beliau hadapi, beliau masih setia dengan beribadah kepada Allah. Apakah beliau tetap menganggap Allah itu adil dengan semua masalah yang dihadapinya? Aku saja, ketika sedikit masalah menghinggap, prasangka-prasangka buruk sudah terngiang. Sholat pun belum sekhusyu’ dan setenang beliau. Ya Rabb, hamba malu. Hamba belum ada apa-apanya disbanding beliau. Hamba adalah makhluk yang hina dina. Tetesan bening pun kembali mengalir dengan derasnya tanpa sanggup ku bendung lagi.
Tiba-tiba…. Ada seseorang yang menepuk bahuku dari belakang. Bukan kepalang kagetnya aku dengan segera menghapus air mata ini. Ternyata Okta yang menepuk bahuku. Aku pun tersenyum kepadanya. Dia mengajakku ke taman dan duduk di tengah-tengah taman yang indah itu. Dengan di sampingnya terdapat bunga mawar nan indah dan di bawah pohon yang rindang. Serasa hati ini damai. Tenteram. Kembali terucap syukur atas nikmat yang tak terhingga ini. Kembali aku melihat Okta. Ternyata dia menangis. Ketika aku mau bertanya, tiba-tiba dia langsung memelukku. Dia tenggelam dalam tangisnya. Aku hanya bisa memeluk sahabatku yang malang ini. Sahabat yang telah salah memilih jalan hidup. Namun tetap selalu ingin menjadi lebih baik. Semakin lama, semakin erat pelukannya. Semakin kencang sesenggukannya. Aku pun semakin bingung. Dan, aku menangis, lagi.
Akhirnya Okta melepaskan pelukannya. Dia menatap mataku, tajam. Aku hanya bisa membantu menghapus air matanya. Menghapus air mata seseorang yang telah lama tak bercengkerama denganku. Air mata yang menyiratkan berjuta makna. Air mata yang lama tak ku lihat. Air mata yang selama ini digunakan hanya untuk seseorang yang merugikan dirinya. Tetapi dia hanya mengucapkan satu kalimat yang membuat aku kembali menangis. Okta berkata, “Aku mau memakai jilbab. Mohon bimbingannya.” Dan dia pun kembali menangis dalam pelukanku. Mungkin pelukan ini yang dapat menguatkannya. Pelukan ini yang dapat mengingatkannya bahwa dia tidak pernah sendiri. Pelukan ini awal kekuatan baru untuknya dalam mengarungi jalan kehidupan ini. Aku berjanji dalam hati, tak mau lagi aku membiarkan Okta memilih jalan yang salah. Cukup sekali aku kehilangan sahabat terbaikku ini. Akhirnya aku bisa tersenyum.
to be continue....
Komentar
Posting Komentar