Rasa Asing Tapi Menyakitkan

Tanpa terasa aku akan memasuki dunia yang sangat baru buatku. Dunia mahasiswa, status yang menurutku sangat terhormat. Sangat berwibawa dengan segala peran dan kontribusinya untuk masyarakat. Aku menginjakkan kakiku pertama kali di bumi Pahlawan dengan bangga. Allah telah memutuskan aku untuk menuntut ilmu di bumi Pahlawan ini. Aku yakin, inilah yang terbaik, karena Allah tak pernah salah memberi keputusan. Langkahku tegap menuju tempat baruku bersama banyak mahasiswa baru dari segala penjuru Indonesia. Hal yang paling ku suka, ketika aku bertemu dengan saudara dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda. Ternyata aku satu kamar dengan seorang kawan dari Medan. Subhanallah, tempat yang aku rasa sangat jauh. 

Shinta, nama kawan satu kamarku. Kami hanya beda jurusan, tetapi tetap satu fakultas. Sesuatu yang cukup kebetulan dia juga orangnya bertipe hampir mirip denganku dalam beberapa hal, salah satunya adalah banyak omong. Hehe. Jadi aku pun gak canggung karena kami berdua ngobrol sambil membereskan barang-barang semua. Awal yang cukup indah bagiku memulai perkawanan selama duduk di bangku perkuliahan menjadi seorang mahasiswa.

Ospek adalah hal yang sangat dibenci kebanyakan mahasiswa baru, karena hanya ada kesenioritasan di sana. Tetapi yang kami alami sangat jauh dari pandangan kami. Ospek hanya sebatas masa pengenalan dunia kampus dan menyadarkan bahwa kita harus bisa memposisikan diri dengan lingkungan yang heterogen. Harus mengubur dalam-dalam sifat egoism dalam berinteraksi, salah satunya. Masa-masa ospek sangat menyenangkan hingga berkenalan dengan beberapa kawan dari seluruh Indonesia. Sepekan kemudian setelah ospek, kami langsung memasuki dunia perkuliahan yang menurutku sangat menarik dan mengasyikkan. Hingga dimulai semester dua, kami mulai aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Mulai dari BEM, UKM Kerohanian, hingga HIMA. Di UKM Kerohanian lah aku merasakan hal yang berbeda dan istimewa. Sedangkan Shinta lebih nyaman dan tertarik dengan BEM karena berhubungan dengan cita-citanya menjadi seorang politisi.

VMJ virus yang paling mematikan bagi kader dakwah
Setahun berlalu dan aku merasa aku menjadi lebih baik lagi dari hari-hari ketika aku masih mengenakan seragam abu-abu putih. Terasa sangat tenang hati ini melihat senyum kakak-kakak di UKM Kerohanian. Hingga aku pun tahu tentang bagaimana Islam mengatur tentang interaksi lawan jenis. Subhanallah, Islam terlalu sempurna ajarannya. Hingga hal-hal yang paling kecil pun sangat diperhatikan. Kata kakak-kakak di sini, hal yang paling banyak yang menyebabkan kita future dan meninggalkan perkumpulan yang selalu mengajak kepada kebaikan ini adalah VMJ. Berpikir keras aku mencari arti VMJ itu. Ternyata itu adalah sebuah kependekan dari kata virus merah jambu, dengan kata lain jatuh cinta. Aku mengelus dada dengan berdoa, semoga kelak aku akan tetap berada di jalan dakwah ini ketika aku diserang virus yang sangat menakutkan itu. 

Ketika memasuki semester empat, amanahku mulai agak berat. Hingga aku harus berpartner dengan seorang ikhwan yang sangat misterius menurutku, karena walau setahun kemarin kami satu organisasi, tak pernah aku berinteraksi dengan beliau. Untuk kepengurusan ini, baru beliau menjadi partner dakwahku. Sesampai di kos pun, aku mencoba mengajak Shinta berbicara. Shinta hanya datar berkata, “Ukhtiy, beliau tidak misterius. Beliau hanya menjaga hatinya agar tidak terjerumus kepada zina anggota tubuh. Tentu anti lebih tahu itu.” Sambil tersenyum dan menepuk bahuku kemudian Shinta pergi keluar. Aku diam kembali merenung di kamar. Aku mengingat hal yang terjadi beberapa bulan lalu, ketika itu kami melakukan outbond di daerah kota apel. Waktu itu beliau pun turut serta. Ketika semua tertawa melepas beban, beliau hanya tersenyum kecil hingga aku berpikiran beliau sangat pelit untuk senyum. Tetapi ketika aku bertanya dengan yang lain, semua menjawab ya begitulah beliau. Lebih baik diam daripada berkata yang tidak-tidak, tetapi ketika beliau sekali berkata, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Terutama kepada saudara akhwat, beliau jarang sekali banyak omong. Beliau beralasan ingin menjaga hati dan pikiran. Subhanallah, semakin berdecak kagum ku dibuatnya.
Setelah beberapa bulan kami menjadi partner dakwah, ada hal yang mengusik hati dan pikiranku. Tanpa ku sadari, aku mulai berangan-angan dengan beliau menjadi aktor utamanya. Hati seakan tak pernah tenang ketika berada satu forum dengannya. Sepertinya ada sesuatu yang tidak beres dengan diriku. Aku langsung berbicara dengan murabbi tentang apa yang aku alami. Setelah berpanjang lebar aku menjelaskan, dengan tenangnya beliau berkata, “Dek Zahra sudah pernah diserang virus ini sebelumnya?” Hah, virus. Monera atau apa ya. Pikiranku langsung tertuju pada virus-virus saat mata kuliah Biologi Dasar. Murabbi melanjutkan, “Sepertinya dek Zahra sedang jatuh cinta.” Sambil tersenyum beliau berkata. Tetapi raut mukaku langsug berubah masam. Seakan tertimpa beban yang sangat berat di kepalaku. Berpikir keras aku mereview apa yang aku alami dan aku rasakan akhir-akhir ini. Astaghfirullah, sekarang giliranku terserang VMJ. Aku tahu, hanya ada dua pilihan ketika kita sedang dilanda VMJ : nikah atau putus. Ya, aku kembali berpikir keras memutuskan hal ini.

Semester lima seakan hidup mati dunia perkuliahanku. Banyak praktikum yang harus aku ikuti. Banyak amanah yang harus aku tunaikan. Apalagi belum selesai permasalahan tentang VMJ ini. Ketika aku berpikir keras dan melakukan istikharah, belum juga ku temukan jawaban yang meyakinkanku. Sedangkan rasa ini semakin menjadi dan merusak koordinasi amanah-amanahku, karena jujur aku ingin menghindar sejauh-jauhnya dari beliau. Ketika aku bercerita tentang ini semua pada ummi dan abi, beliau menyerahkan semua kepadaku. Jadi aku harus benar-benar segera memilih dua keputusan itu. Aku yakin dan aku tahu, masing-masing keputusan mempunyai konsekuensi yang tidak mudah. Ketika aku memutuskan untuk putus, aku benar-benar harus menetralkan hati dan melupakan semua rasa yang ada, aku faham itu tidak mudah kawan. Tetapi ketika aku memilih menikah, berarti dengan kata lain aku harus menawarkan diri kepada beliau seperti ibunda Khadijah dahulu, tetapi konsekuensinya lebih berat. Iya kalau beliau mau, itu sangat menyenangkan, tetapi ketika beliau menolak, ditaruh dimana mukaku ini kawan. Tetapi ketika aku malah membiarkan tak memilih satupun, aku takut malah aku akan masuk dalam jurang zina yang bernama pacaran. Suatu hubungan yang tentu akan membuat Allah marah, karena Dia diduakan dengan orang yang belum halal pula. Astaghfirullah, aku harus segera memutuskan ini semua.

Kenapa aku harus memikirkan dia yang belum halal bagiku?
Semakin berat beban pikiranku, semakin canggung aku ketika berada dalam satu forum dengan beliau. Hingga ketika masalah ini berlarut-larut dan aku pun belum memberikan keputusan pada murabbi, semua seakan makin berantakan. Murabbi pun langsung berkata bahwa keputusanku adalah ingin menikah. Terperanjat bukan main aku mendengarnya. Umurku masih 20 tahun, masih terlalu muda untuk membina sebua rumah tangga yang berorientasi dunia akhirat. Akhirnya murabbi member waktu hingga satu pekan. Bukan main seperti orang gila aku satu pekan itu. Istikharah tiap hari tetap aku lakukan. Hingga H-1 batas akhir keputusanku itu pun, aku masih belum mempeoleh isyarat dari hasil istikharahku. Hingga akhirnya aku memutuskan dengan berbagai pertimbangan, akumemilih putus. Insya Allah ini yang terbaik buat semuanya. Murabbi berulang kali menanyakan keyakinan keputusanku itu. Tetapi aku tetap teguh memegang keputusanku. Aku memantapkan dalam hati bahwa aku harus menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu, karena ini impian almarhum kakek yang selalu ingin melihat salah satu cucunya diwisuda. Selain itu, banyak pertimbangan yang membuatku mengambil keputusan ini. Walau sebenarnya konsekuensi yang harus aku tanggung memang tidak mudah.

Aku bersyukur hari-hari berikutnya aku tidak selalu bertemu dengan beliau. Beliau telah memasuki tahun akhir kuliahnya, sehingga lebih focus untuk menyelesaikan studinya. Aku bisa bernafas lega walau hanya sedikit. Meskipun tak pernah bertemu, Allah selalu mempunyai banyak cara dengan menemukan kami secara tidak sengaja dalam beberapa hal. Hingga tak jarang tiap malam air mata ini selalu mengalir karena pikiran selalu dipenuhi beliau. Shinta pun sangat paham dengan keadaanku. Dia hanya bisa memelukku dan meminjamkan bahunya ketika aku menangis malam hari. Selalu dan selalu seperti itu. Aku pun heran, kenapa aku sulit sekali melupakan beliau. Padahal beliau pun mungkin tak pernah memikirkan aku walau sedetikpun. Hari-hari berat itu ku lalui dengan perjuangan yang sangat keras. Sangat sulit memendam sebuah rasa yang bergejolak. Tapi aku selalu ingat pada dia anak mertuaku yang akan memberi kesejukan yang lebih dari ini. Walau sebenarnya malah merasa bersalah karena telah mengotori hati ini. Tangis dan penyesalan selalu menghiasi hari-hariku setelah itu.

Tepat pagi itu aku mendapat sms dari teman-teman bahwa beliau akan diwisuda. Subhanallah, ternyata beliau begitu cerdas. Menyelesaikan program sarjananya hanya dengan waktu 3,5 tahun. Kembali ku mengagumi sosok yang satu ini. Tak berani aku mengirimkan pesan singkat atau apapun dengan diwisudanya beliau. Aku hanya mensyukuri dengan beliau lulus, berarti aku semakin dapat membersihkan hati ini. Walau sebenarnya aku sangat ingin mengucapkan selamat pada beliau.

Kembali aku berkutat dengan kuliahku yang telah memasuki tahun-tahun akhir. Penelitian skripsi yang menguras banyak materi, tenaga, dan pikiran tetap tak dapat membuatku melupakan beliau. Astaghfirullah. Hingga pagi ini aku di laboratorium, sambil melakukan penelitian, tetesan hangat mengalir deras di pipiku. Kenapa baying-bayang beliau begitu kuat. Walau sudah hamper satu tahun aku tak mendengar kabarnya. Desas-desus yang aku dengar, beliau melanjutkan S2 di negara Sakura. Tapi aku tak peduli, kini tekadku hanya satu, ingin segera menyelesaikan kuliah dan kembali ke Jogja membawa gelar sarjanaku. Semester delapan rasanya seperti semester neraka. Banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Hingga waktu istirahatpun berkurang drastis demi naskah skripsi yang harus segera diselesaikan. Sampai suatu ketika dosen pembimbingku berkata, “Selamat, saudari Zarah dinyatakan lulus.” Sujud syukur langsung ku persembahkan atas ucapan terima kasih kepada Allah SWT yang selalu member kenikmatan yang tak terhingga kepadaku. 

Banyak sekali persyaratan kelulusan yang harus diselesaikan. Tapi semua ku lakukan dengan senang. Mondar-mandir dengan Shinta mengurus ini itu hingga tak kenal lelah, karena sebentar lagi kami akan diwisuda. Hingga sore itu murabbi mengirim pesan singkat yang mengatakan besok pagi aku harus ke rumah beliau. Keesokannya, beliau pun menyambutku dengan muka berseri. Aku menduga beliau ingin mengucapkan selamat kepadaku. Tetapi tidak, ada hal lain ternyata. Beliau berkata bahwa Akhi Firman berencana untuk mengkhitbahku. Sungguh aku tak percaya mendengar ini semua. Seakan kebahagiaanku sempurna. Aku pun tak percaya. Hingga proses demi proses kami jalani dengan sangat cepat. Istikharah pun seperti semakin memantapkan langkah ini. Proses ta’aruf yang hanya satu kali, karena memang kami sudah saling mengenal sebelumnya. Hingga kedua pihak keluarga pun sama-sama menyetujui. Semua berjalan cepat tanpa mengabaikan keikutsertaan Allah dalam tiap mengambil keputusan. Sampai pada satu hari sebelum aku wisuda S1, kami pun menikah. Subhanallah, semua terasa mimpi buatku. Ternyata memang Allah tak pernah salah dalam menentukan segala hal. Rasa penyesalanku pun sirna. Tetesan air mata yang dulu hampir tiap malam menetes pun tak sia-sia. Allah telah menggantinya dengan hal yang lebih sempurna.

Hari yang dijanjikan itu pun tiba dengan sejuta mimpi dalam asa yang indah
Semoga kami menjadi pasangan mulia dunia dan akhirat seperti Fatimah dan Ali yang saling menyimpan rasa hingga sama-sama mengetahui setelah ijab qabul terucap. Subhanallah, nikmat Allah manakah yang kamu dustakan?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran