Ternyata Oh Ternyata


 “Sariiiiiiii!” 
Suara menggelegar Nyonya Vera, majikanku, membahana memenuhi seluruh sudut rumah besar berlantai dua ini. Tergopoh aku mengangkat rokku sambil berlari menaiki tangga menuju lantai dua.


“Kamu dari mana aja sih? Dipanggil dari tadi, baru nongol. Apa yang kamu kerjakan dibawah? Pasti sedang santai ya? Enak aja. Kamu di sini itu dibayar buat bekerja, bukan buat tiduran. Dasar anak kampung! Cepet pijitin badanku.”


Aku hanya bisa diam saja mendengar segala tuduhan, ocehan, bahkan hinaan dari majikanku ini. Aku sadar aku orang rendah yang pantas untuk dihina.


Aku adalah seorang anak yang tidak tahu siapa orang tuaku. Aku dibesarkan di sebuah panti asuhan di pinggir kota besar. Aku hanya mengetahui bahwa ketika aku bayi dulu, seseorang meletakkanku di depan pintu panti asuhan. Hanya itu yang aku tahu dari Bunda Nuri, ibu dari semua anak-anak panti asuhan tempat aku tinggal. Di panti asuhan itu, sedikit banyak aku mendapatkan kasih sayang dari Bunda Nuri, semua pengasuh panti, dan tentu teman-teman senasib yang dibuang orang tuanya di panti ini. Aku hanya bisa mengenyam pendidikan hingga tingkat SMP. Bunda Nuri tak sanggup membiayaiku kalau aku masuk SMK. Setelah lulus SMP, aku bekerja di rumah ini. Rumah nyonya Vera, seorang janda yang sangat kaya.


Selang satu jam kemudian, barulah majikanku menyuruhku berhenti untuk memijitnya. Tanganku rasanya capek. Tanpa sadar aku menghela nafas panjang. Beruntung majikanku tidak memperhatikannya dan menyuruhku langsung keluar dari kamarnya.


Tiba-tiba terdengar suara bel. Sepertinya ada tamu. Aku langsung bergegas ke depan membukakan pintu. Setelah aku membuka pintu, ternyata tamunya adalah seorang perempuan yang sangat cantik. Dari wajahnya seperti terpancar cahaya kedamaian. Entah kenapa, aku seakan merasa nyaman dan teduh melihat wajahnya. Perempuan itu tersenyum sambil berkata,


“Assalammualaikum mbak. Bu Veranya ada?”


“Waalaikumsalam ibu, Bu Vera ada. Silakan masuk Ibu.”


Aku pun mempersilakan beliau untuk duduk. Masih dengan kekagumanku, aku berlari lagi menaiki tangga. Sepertinya tidak bisa dihitung lagi berapa kali aku naik turun tangga setiap hari. Aku pun langsung menuju kamar majikanku dan memberitahunya kalau ada tamu. Kemudian aku kembali ke dapur membuatkan minuman untuk tamu majikanku tadi. Aku membuatkan jus jeruk, seperti yang majikanku sarankan.


“Silakan diminum Ibu. Mohon ditunggu sebentar, Bu Vera masih mandi.”


“Oh iya nak, terima kasih. Iya, saya tunggu. Namamu siapa nak? Sini duduk dulu temani ibu.”


“Nama saya Sari bu.”


Aku menjawab sambil duduk di lantai dekat dengan ibu yang luar biasa tadi.


“Kamu umur berapa nak? Masih sekolah?”


“Saya umur 17 tahun ibu. Sudah berhenti sekolah, gak ada biaya.”


“Andai anakku masih hidup, tentu dia seumuran denganmu nak.”


Ibu yang luar biasa ini kemudian menceritakan tentang anaknya. Beliau memiliki anak kembar dulunya, namanya Sinta dan Santi. Namun kecelakaan merenggut kedua buah hatinya.


Saat itu, beliau sekeluarga bersama suami dan kedua anaknya serta satu pembantunya  sedang berlibur. Sinta dan Santi saat itu berumur dua tahun. Tujuan berlibur untuk menyegarkan badan dan mendapatkan udara sejuk nan sehat di puncak. Ketika pulang dari berlibur, mobil yang ditumpangi tiba-tiba mogok. Kemudian suaminya keluar dan mencoba memperbaiki. Ibu itu juga ikut keluar membantu suaminya. Pembantu dan kedua anaknya sedang tidur di dalam mobil. Ketika sedang melihat-lihat bagian mesin mana yang membuat mogok, tiba-tiba orang-orang di sekitar berteriak menyuruh kami pergi meninggalkan mobil,


“Pak, Bu, cepat pergi dari situ. Cepat!!!”


Ibu itu kebingungan dan tiba-tiba suaminya menarik beliau berlari menjauh dari mobilnya. Tidak lama kemudian terdengar suara dentuman yang menggelegar. Suara dentuman itu adalah suara truk yang menabrak mobil itu dan menghancurkan sebuah warung di pinggir jalan. Ibu itu langsung pingsan. Entah dia tak mengerti apa yang terjadi ketika pingsan, yang jelas ketika membuka mata, dia berada di sebuah rumah sakit. Kemudian beliau mendapatkan kabar bahwa pembantu dan kedua anaknya meninggal dunia di lokasi kejadian. Sampai beliau cerita di sini, pecahlah tangisnya. Refleks aku mengusap air mata beliau dengan tisu. Sungguh aku tak tega melihat makhluk Allah yang sungguh sempurna di mataku ini menangis.


Hingga sekarang, beliau tidak mempunyai anak lagi. Beliau hanya memiliki anak asuh di panti asuhan yang beliau dirikan sendiri. Aku pun mendengarkan dengan seksama sambil membayangkan betapa bahagianya kalau aku menjadi anak dari ibu yang luar biasa ini. Ibu yang menutup auratnya dengan sempurna, tapi tak menutupi kecantikan beliau. Sungguh aku benar-benar kagum. Kemudian,


“Sudah lama nunggu Nesya? Maaf ya lama.”


Tiba-tiba majikanku datang dan memberiku isyarat untuk pergi dari ruang tamu itu. Aku pun beranjak pergi. Namun tiba-tiba ibu itu menggamit tanganku,


“Terima kasih ya nak sudah mau mendengarkan cerita saya.”


Aku hanya bisa tersenyum sambil terus berjalan menuju dapur. Kembali pikiran ini bergelayut membayangkan pengandaian yang mungkin tak kan pernah terkabul. Mungkin hanya sebuah mimpi besar ketika aku berandai bahwa akulah anak beliau. Tentu aku tidak akan merasakan kerja yang luar biasa memeras tenaga ini. Tentu aku tak akan pernah menerima penghinaan dari majikanku. Ah, itu semua hanya mimpi, pikirku. Aku hanya berkeyakinan bahwa akan ada kebahagiaan yang menungguku suatu hari kelak. Senyum indah tersungging di bibir manisku.


Semenjak bertemu dengan ibu yang luar biasa itu, sungguh hari-hariku makin bersemangat. Selalu menumbuhkan semangat dari hari ke hari. Menumbuhkan semangat untuk meraih kebahagiaan. Tetapi pagi ini sungguh peristiwa besar telah terjadi. Dimas, anak majikanku yang pertama, pulang dari Amerika. Dimas sudah tidak pulang ke rumah sejak empat tahun lalu. Sekarang, kuliahnya telah selesai dan kembali ke tanah air. Tentu aku belum pernah bertemu beliau sebelumnya. Aku baru bekerja di rumah ini selama dua tahun. Ketika Dimas pulang, aku disuruh Nyonya Vera untuk menurunkan koper-koper besar Dimas dari mobil dan langsung ditaruh di kamarnya. Sungguh koper-koper ini sangat berat.


Aku mengetuk pintu kamar Dimas. Dia membuka pintu sambil kaget dan bertanya siapa aku dan apa keperluanku dengannya. Aku memberitahukan bahwa aku pembantu di sini sejak dua tahun lalu dan mau menaruh koper-kopernya. Dimas langsung menyuruhku masuk ke dalam kamarnya. Ketika aku selesai memindahkan semua kopernya, aku berpamitan kembali ke dapur. Dia melarangku. Dia menyuruhku untuk memindahkan baju-bajunya sekalian dari koper ke almarinya. Aku pun hanya bisa mengangguk dan langsung mengerjakannya. Saat aku membereskan baju-bajunya, aku tahu matanya melihatku tajam. Hari ini aku berpakaian seperti biasa, rok panjang dengan kaos pendek. Aku kira wajar saja. Tetapi sebenarnya aku takut dengan pandangan matanya. Tiba-tiba dia menutup pintu kamarnya. Aku pun kaget,


“Kenapa pintunya ditutup Tuan? Bukankah tidak baik seorang lelaki dan perempuan berduaan di kamar?”


“Ah, ngomong apa loe pembantu. Diem loe.”


Dengan nada keras dan lantang dia menjawab pertanyaanku. Aku pun langsung terdiam. Kemudian tiba-tiba dia merangkulku dari belakang, aku pun kaget dan langsung berteriak.


“Apa yang Tuan lakukan? Lepaskan Tuan.”


Dia tak menjawab tetapi langsung mendekapku begitu keras. Aku mencoba berontak melepaskan diriku dari 
dekapannya. Aku gigit tangannya dan aku langsung berlari menuju pintu keluar. Tapi aku baru sadar ternyata pintunya dikunci dan kuncinya berada di tangan Dimas. Aku pun kembali kebingungan. Kemudian telepon genggamnya berdering, dia pun mengangkatnya dan membelakangiku. Aku berpikir cara mengambil kunci itu. Aku mengendap-endap mendekatinya dan mengambil kunci itu. Namun dia langsung menyergapku kembali. Dia menarik rokku dan menyobek kaosku. Aku pun kalap dan dengan tidak sadar aku memukul kepalanya dengan vas bunga di sampingku. Aku pun langsung mengambil kunci dan keluar dari kamarnya. Aku langsung menuju kamarku dan berdiam diri sambil menangis. Aku mengunci kamarku. Aku takut, sungguh aku dilanda ketakutan yang teramat sangat.


Tak berapa lama kemudian, terdengar suara mobil ambulans dengan suara yang meraung-raung. Aku pun semakin ketakutan. Entah apa yang terjadi dengan Dimas. Aku hanya memukulnya dengan vas bunga, hanya itu yang aku tahu. Aku semakin menggigil di pojok kamarku. Kemudian tiba-tiba pintuku digedor keras dari luar. Aku tak memiliki keberanian untuk beranjak dari tempatku ini dan membukakan pintu. Aku takut. Sungguh aku takut.


Brak.... Pintu kamarku didobrak. Terlihat sosok Nyonya Vera kemudian yang mucul, ditemani dengan dua orang polisi. Aku semakin ketakutan. Majikanku marah dan langsung menamparku. Aku hanya bisa terdiam dan tak berani berkata apapun. Aku menurut saja ketika pak polisi memborgol kedua tanganku dan menggelandangku ke mobil tahanan. Tak ada seorang pun yang menolongku. Aku hanya bisa menunduk dan menangis. Dalam tangisku, aku percaya bahwa aku masih memiliki Allah yang selalu berada di sampingku.

Sesampainya di kantor polisi, aku menjawab semua pertanyaan pak polisi dengan jujur sesuai apa yang terjadi. Tetapi tetap saja aku dimasukkan sel tahanan meskipun aku memukul Dimas karena aku membela diri. Tapi ya begitulah hukum di negeri ini. Rakyat kecil seperti aku ini, pasti akan selalu kalah dengan mereka yang mempunyai uang. Aku pun hanya bisa pasrah.

Aku menghabiskan malam ini di sudut sel tahanan yang sempit, bau, lembab, dan gelap. Di sel ini selain aku, ada empat tahanan lain. Namun ada seorang tahanan yang cukup aneh menurutku, yang sepertinya juga ditakuti tiga tahanan lainnya. Aku dibisiki seseorang dari tiga tahanan itu, bahwa tahanan yang aneh itu dipenjara karena telah membunuh anak perempuannya yang selingkuh dengan suaminya sendiri. Aku ketakutan. Aku hanya bisa beristighfar, semoga Allah senantiasa menjagaku. Kemudian aku mengambil tempat untuk bersiap tidur.


Dini harinya aku terbangun. Aku meminta izin kepada pak polisi yang berjaga untuk mengambil air wudlu. Aku ingin melaksanakan sholat tahajud. Dalam sujud panjangku, aku berdoa semoga Allah menolongku sesegera mungkin untuk keluar dari penjara ini.  Tangis ini pecah mengiringi doa yang kupanjatkan. Namun tiba-tiba pinggangku terasa sangat perih. Aku tak menghiraukannya. Aku terus melanjutkan sholatku. Di rokaat terakhir sholat witirku, seakan aku sudah tak kuat lagi menahan perih pinggangku. Namun aku tetap menguatkan diri menyelesaikan sholatku. Setelah mengucapkan kedua salam, aku pun mengangkat tangan untuk kembali memanjatkan doa. Namun aku kaget luar biasa, mukenaku berlumuran darah. Mukena yang awalnya berwarna putih bersih, sekarang berganti berwarna merah. Kemudian aku melihat sampingku, ternyata tahanan yang aneh itu melihatku tajam sambil mengacungkan sebuah pisau. Ternyata pisau itu telah ditusukkan di perutku. Tiba-tiba pandanganku gelap dan aku tak sadarkan diri.


Ketika aku membuka mata, aku berada di sebuah ruangan yang asing bagiku. Semuanya serba putih. Aku pun berusaha bangun, tapi pinggangku terasa perih yang luar biasa. Kemudian aku mendengar perbincangan dua orang di sebelah,


“Suster, pasien ini kehilangan banyak darah. Dia harus segera ditolong.”


“Tapi Dok, simpanan darah golongan yang sama dengan pasien ini sudah habis di rumah sakit ini.”


“Entah bagaimanapun caranya Sus, segera cari. Entah di PMI atau hubungi keluarganya. Suruh polisi-polisi itu menghubungi keluarganya. Kalau tidak segera ditolong, pasien ini akan meninggal.”


Aku pun tertegun luar biasa. Mungkin memang benar apa yang dokter itu bicarakan. Aku akan segera menemui ajalku. Aku sendiri pun tak kuat menahan sakit di pinggangku. Aku hanya bisa beristighfar di detik-detik terakhir aku meninggalkan dunia yang fana ini. Aku hanya memohon kepada Allah, supaya aku bertemu dengan orang tuaku kelak di akhirat nanti dan semoga aku dimatikan dalam keadaan khusnul khotimah. Aku pun kembali memejamkan mataku.

Mama, satu kata yang lama ku nanti kehadirannya, namun ku akan tetap menanti sampai ajal menjemput


Selang beberapa jam kemudian, aku mendengar suara pintu diketuk. Aku melihat ibu luar biasa yang mendatangiku, Ibu Nesya sahabat majikanku datang menjengukku. Dengan melihat senyum beliau, hati ini terasa damai seperti ada angin sejuk yang berhembus. Ketakutan akan kematian pun perlahan sirna. Ibu Nesya langsung mendekatiku dan mencium keningku. Seakan dunia ini terasa nyaman. Sepintas terpikir bahwa aku siap ketika nyawaku diambil sekarang juga.


“Gimana kabarmu sayang? Maaf ya, Ibu baru bisa dateng sekarang. Tadi pak polisi menghubungi Bu Irvan, tapi dia tak mengacuhkan. Akhirnya aku yang dateng ke sini. Gakpapa kan sayang?”


Aku hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. Rasanya aku tak kuat untuk berbicara. Rasa perih di pinggangku semakin menjadi. Kemudian dokter datang dan mengajak Bu Nesya untuk ke ruangannya. Kembali aku ditinggal di ruang ini sendirian.


Entah apa yang terjadi di luar sana, tiba-tiba majikanku datang dan menangis. Dia langsung memegang tanganku dan mencari sesuatu. Majikanku melihat tanganku dengan tajam. Kemudian tangisnya pun kembali pecah. Kemudian majikanku langsung menyuruh dokter agar mengambil darahnya. Dokter dan suster pun bergegas melakukan sebuah operasi. Aku hanya bisa terdiam dengan beribu keheranan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku kembali tertidur ketika suntikan mendarat di tangan kananku.


Ketika aku membuka mata kembali, aku melihat majikanku, Ibu Nesya, Bunda Nuri, dan satu orang yang tak pernah aku kenal. Bunda Nuri mendekatiku dan memegang tanganku,


“Sayang, kau baik-baik saja kan nak? Bunda takut saat mendengar kabarmu sekarat sayang. Syukurlah sekarang kau baik-baik saja.”


Aku hanya bisa tersenyum. Aku melihat majikanku menangis sesenggukan. Aku bingung dan penasaran apa yang terjadi. Aku bertanya kepada Bunda, beliau menjawab,


“Sayang, Allah mendengar semua doamu. Kini, Allah telah mengabulkannya. Kamu akan bertemu dengan kedua orang tuamu nak. Bu Vera itu mama kandungmu nak.”


Aku semakin terperanjat kaget. Aku diam saja tak berkutik. Melihat keterkejutanku, Bu Nesya seakan melihatnya. Kemudian Bu Nesya meminta waktu berduaan denganku.


“Sari sayang, majikanmu selama ini adalah orang tua kandungmu nak. Kamu lihat satu orang yang mungkin tak kamu kenal tadi? Dia adalah pembantu Bu Vera 17 tahun yang lalu. Dia menyimpan dendam, sehingga saat Bu Vera melahirkanmu, dia langsung membuangmu ke panti asuhan di pinggir kota. Namun, tiga hari yang lalu, ibu itu divonis kanker rahim. Sehingga ibu itu menceritakan semuanya pada Bu Vera. Kemarin tentu kamu masih ingat nak ketika Bu Vera melihat tanganmu. Bu Vera mencari tanda lahir anaknya dulu dan tanda itu ada di tanganmu.”


Sambil Bu Nesya menunjukkan tanda kelahiran di tanganku yang selama ini aku tak pernah memperhatikannya.


Entah apa yang aku rasakan, orang yang selama ini sering menyuruhku sambil marah-marah adalah mamaku sendiri. Orang yang memasukkanku ke penjara adalah mamaku. Orang yang sering menghinaku adalah mama kandungku. Kemudian orang yang mencoba memperkosaku adalah kakak kandungku sendiri. Sungguh aku tak pernah membayangkan sebelumnya. Walau sebenarnya aku ingin Bu Nesya yang menjadi mamaku. Tapi aku yakin ini semua yang terbaik. Walau sungguh aku belum bisa menerima kehadiran mama dan kakakku. Satu hal yang pasti, ternyata selama ini Allah selalu mendengar doa-doa yang aku panjatkan. Mungkin Allah mengatakan,


“Tunggu.”


Sekarang semua doaku terjawab sudah. Terima kasih ya Allah. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit waktu untuk menerima mama dan kakakku.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ketika Mimpi Menabrak Realita

Pantun Pernikahan...

Izinkan Aku Sejenak Beristirahat Menikmati Jurang Kehancuran